Skip to main content

PERKEMBANGAN MATEMATIKA


Abstrak


Secara garis besar tulisan ini membahas mengenai perkembangan matematika dan matematika model. Pendahuluan pada tulisan ini berisi alasan penting mempelajari filsafat, kemudian fisolosofi matematika dan matematika model. Selanjutnya pada pembahasan dibahas mengenai aliran-aliran perkembangan matematika, objek-objek matematika dan ontology, epistemology matematika model serta perkembangan matematika dan matematika model. Pembahasan mendalam mengenai perkembangan matematika dan matematika model diawali dengan penjelasan konsep kalkulus atau limit neizbi, matematika formal Hilbert, kemudian munculnya teorema ketidaklengkapan Godel. Selanjutnya adalah Tarski's Undefinability Theorem dan penyelesaian Entscheidungsproblem oleh Alan Turing, dimana masalah pada Entscheidungsproblem yang awalnya diungkapkan oleh Hilbert akhirnya dapat diselesaikan oleh Alan Turing. Tulisan ini diakhiri dengan penjelasan mengenai Mathematics Nonstandart dan Transformasi.



Pendahuluan

Pernahkah kita bertanya dalam hati, mengapa manusia hidup, mengapa saya hidup, untuk apa saya hidup. Ketika pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan sedangkan kita sebagai manusia menjadi semakin sulit menemukan jawabannya secara logika kemudian akan berakhir pada ‘Kuasa Tuhan’ disitulah saya rasa kita harus belajar filsafat. Belajar filsafat bagi saya bukan tentang sebuah mata kuliah, melainkan tentang aktivitas berpikir, bertanya kemudian mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu secara rasional, kritis, dan sistematis.
Ketika kita belajar filsafat ilmu, kita akan mengenal para filsuf besar seperti Plato, Immanuel Kant, Descartes, Socrates dan Aristoteles. Pemikiran mereka telah mampu membentuk dunia seperti yang telah kita pahami sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat adalah sesuatu yang penting untuk kita pelajari. Pemikiran para filsuf membantu kita melihat keterkaitan suatu bidang dengan bidang yang lain. Filsafat berguna untuk memperluas wawasan kita tentang ilmu. Bagi dunia keilmuan, filsafat berguna untuk bersikap kritis terhadap asumsi-asumsi dasar yang biasa digunakan saja tanpa dipertanyakan. Sebab, kita akan terus diajak untuk bertanya. Bertanya tentang apa saja. Mengapa sesuatu itu ada. Benarkah ia ada. Jika ada, mana buktinya. Yakinkah ia benar. Jika benar, bermanfaatkah, begitu seterusnya dan dalam hal apapun.
Belajar filsafat membuat kemampuan reflektif kita meningkat. Segala hal akan dipertanyakan, termasuk jawaban atas pertanyaan kitapun akan dipertanyakan. Pemikiran para filsuf dan pengetahuan yang kita miliki bisa menjawab pertanyaan dasar yang kita ajukan, namun kemudian semakin kita mencari bisa jadi akan ada pemikiran filsuf lain yang bisa mendebat jawaban kita. Dalam dunia filsafat, bagi saya tidak ada yang “selesai”, namun meski demikian hal ini tidak membuat kita berhenti mencari, justru pemahaman kita akan semakin kaya, semakin kompleks, dan semakin luas.
Mendalami filsafat ilmu, berarti membaca isi kepala para filsuf-filsuf besar. Sedangkan, pemikiran-pemikiran para filsuf pada umumnya bersifat hipotesis saja. Hal ini dikarenakan perbedaan pandangan antara filsuf yang satu dengan filsuf yang lainnya. Pembuktian yang mereka berikan akan selalu muncul perdebatan dengan argumentasi yang lebih mendalam. Pada akhirnya, tidak ada satu pemikiran filsufpun yang mutlak benar dan mutlak salah. Kebenaran dalam filsafat tidak memiliki patokan khusus, selain akal sehat dan pengalaman konkret masing-masing. Maka dalam filsafat kebenaran adalah batas penalaran kita. Batas yang berkembang tak terbatas. Batas yang memaksa kita menekuni penalaran-penalaran panjang dan mendalam tanpa batas.



Pembahasan

A.    Filosofi Matematika secara umum

Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang mengkaji, merenungkan dan menjelaskan segala sesuatu tentang matematika, sehingga dapat memberikan rekaman sifat, metodologi dalam matematika serta memahami kedudukan matematika dalam kehidupan manusia. Pendekatan epistemologinya adalah dengan mengasumsikan bahwa  pengetahuan di bidang apapun, diwakili oleh satu set proposisi bersama dengan satu prosedur untuk memverifikasinya atau memberikan pembenaran atas pernyataan-pernyataannya (Asy’arie. 2016).
Hal inilah yang menyebabkan pengetahuan matematika terdiri dari proposisi beserta pembuktiannya. Sederhananya, filsafat matematika merupakan  penyedia dasar kepastian pengetahuan matematika. Kebenaran matematika merupakan asumsi yang mendasari doktrin fungsi filsafat matematika. Pondasi tersebut terikat pada pandangan absolutis matematika. Dalam hal ini, pembenaran menjadi pandangan utama filsafat matematika.

B.     Aliran-aliran dalam Pengembangan Matematika

Ada 3 aliran besar mempengaruhi perkembangan matematika, termasuk perkembangan pendidikan matematika, yakni:

1.      Aliran Logisisme

Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R. Carnap (1931). Logisme dipelopori oleh filsuf Inggris bernama Bertrand Arthur William Russell. Pernyataan penting yang dikemukakannya adalah bahwa semua konsep matematika secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika dan semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika semata. Dengan demikian logika dan matematika merupakan bidang yang sama karena seluruh konsep dan dalil matematika dapat diturunkan dari logika. Betran merumuskan dua tuntutan logisisme secara jelas dan eksplisit yaitu:
1.   Semua konsep matematika pada akhirnya dapat dikurangi pada konsep logika, asal saja ini diambil untuk memasukkan konsep dari kumpulan teori atau beberapa kekuatan yang serupa, seperti jenis teori Russel.
2.   Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma-aksioma dan aturan-aturan yang terkait dengan logika itu sendiri.
Jika semua matematika dapat diekspresikan dalam teorema logika murni dan dibuktikan dari prinsip-prinsip logika sendiri maka kepastian dari ilmu matematika dapat dikurangi untuk dan dari logika itu. Logika disadari untuk menyediakan sebuah dasar yang pasti atas kebenaran, sebagian dari ambisi yang berlebihan mencoba untuk menyampaikan logika, seperti hokum Frege yang kelima. Dengan demikian jika membantu, program logika akan menyediakan dasar logika yang pasti untuk pengetahuan matematika, melahirkan kembali kepastian yang mutlak dalam matematika.
Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:
a.    Bahwa pernyataan matematika sebagai implikasi pernyataan sebelumnya, dengan demikian kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa menyatakan benar atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua kebenaran matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
b.   Teorema Ketidaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang sukses mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuk menurunkan semua kebenaran matematika.
c.    Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan tidak dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu untuk pengetahuan matematika. 

2.      Aliran Formalisme

Dalam aliran formalisme, sifat alami dari matematika adalah sistem lambang yang formal, bertalian dengan sifat–sifat struktural dari simbol–simbol dan proses pengolahan terhadap lambang–lambang itu. Simbol–simbol dianggap mewakili berbagai sasaran yang menjadi obyek matematika. Bilangan–bilangan misalnya dipandang sebagai sifat–sifat struktural yang paling sederhana dari benda–benda. Jejak filosofi formalis matematika dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Uskup Berkeley. Landasan matematika formalism dipelopori oleh ahli matematika besar dari Jerman David Hilbert. Program formalis Hilbert bertujuan untuk menerjemahkan matematika ke dalam sistem formal.  Artinya, dalam lingkup terbatas tetapi sangat mengarah pada sistem formal yang menunjukkan sifat matematika, dengan menurunkan mitra resmi dari semua kebenaran matematika melalui bukti konsistensi.
Menurut Ernest (1991) aliran formalisme memiliki dua dua tesis, yaitu :
A.    Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
B.     Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidakkonsistenan.
Berdasarkan landasan pemikiran itu seorang pendukung aliran formalism merumuskan matematika sebagai ilmu tentang sistem – sistem formal. Beberapa ahli tidak menerima konsep aliran formalisme ini. Keberatan bermula ketika Godel membuktikan bahwa tidak mungkin bisa membuat sistem yang lengkap dan konsisten dalam dirinya sendiri. Pernyataan ini dikenal dengan Teorema Ketidaklengkapan Godel (Godel’s Incompleteness Theorem). Ketidaklengkapan Teorema Kurt Godel (Godel, 1931) menunjukkan syarat yang tidak bisa dipenuhi. Teorema pertamanya menunjukkan bahwa bahkan tidak semua kebenaran dari aritmatika dapat diturunkan dari aksioma Peano (atau setiap aksioma set yang rekursif  lebih besar).
Text Box: Aksioma Peano
 0∈N
 x∈N→Sx∈N
 x∈N→Sx≠0
 x∈N ⋀▒〖y∈N〗  ⋀▒〖Sx=Sy→x=y〗
 0∈Μ ⋀▒〖∀x(〗 x∈Μ→Sx∈Μ)→N⊆Μ

Teorema ketidaklengkapan kedua menunjukkan bahwa dalam kasus konsistensi pembuktian memerlukan meta-matematika. Jadi, tidak semua kebenaran matematika dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal dan sistem itu sendiri tidak dapat dijamin kebenarannya.

3.      Aliran Konstruktivisme

Dalam aliran konstruktivisme, salah satu programnya adalah merekonstruksi pengetahuan matematika dan memperbaiki praktik matematis untuk menjaganya dari kehilangan makna, dan dari kontradiksi. Konstruktivisme pada filsafat matematika dapat ditelusuri kembali oleh Kant dan Kronecker (Korner,1960). Untuk tujuan ini, konstruktivis menolak pendapat non konstruktif seperti pembuktian Cantor terhadap bilangan real tak terhingga dan hukum logika. Para Konstruktivis yang terkenal adalah intuisionis L.E.J browner (1913) dan A. Heyting (1931, 1956). Baru-baru ini ahli matematika E. Bishop (1967) telah melakukan program konstruktivis dengan merekonstruksi sebagian besar analisis secara konstruktif. Berbagai bentuk konstruktivisme masih berkembang saat ini, seperti dalam karya intuisionis filosofis M.Dummet (1963-1977). Konstruktivisme mencakup berbagai pandangan yang berbeda, dari ultra intuisionis (A.Yessenin-Volpin), melalui apa yang disebut intuisionis filosofis sempurna (L.E.J. Brouwer), intuisionis menengah (A. Heyting dan H. Weyl), intuisionis logika modern (A. Troelstra) dan sampai pada konstruktivis Liberal yakni dari P. Lorenzen, E. Bishop, G. Kreisel dan P. Martin-Lof. Ahli matematika beranggapan bahwa matematika klasik tidak cukup kuat, dan perlu dibangun kembali melalui metode konstruktif dan penalaran.
Kontruktivis mengklaim bahwa kebenaran matematika dan keberadaan objek matematika harus ditetapkan melalui metode konstruktif. Ini berarti bahwa konstruksi matematika dibutuhkan untuk mendirikan kebenaran atau keberadaan, dibandingkan dengan mengandalkan bukti yang kontradiksi. Bagi para kontruktivis, pengetahuan harus dibangun melalui bukti-bukti konstruktif, berdasarkan logika kontruktivis terbatas, dan makna istilah/objek matematis memuat prosedur formal sebagaimana mereka dikonstruk. Meskipun beberapa kontruktivis mempertahankan bahwa matematika adalah studi tentang proses konstruktif yang dilakukan dengan menggunakan pensil dan kertas, pandangan kuat intusionis, dipimpin oleh Brouwer, matematika menempati tempat utama dalam pikiran dan matematika tertulis menempati tempat kedua.
Salah satu konsekuensi, Brouwer menganggap semua aksiomatisasi logika intuisi tidak lengkap, sehingga dianggap tidak pernah memiliki bentuk akhir. Intuisionisme menggambarkan filosofi konstruktivis paling lengkap dalam matematika. Dua klaim dipisahkan dari intuisionisme sebagaimana diistilahkan oleh Dummett: tesis positif dan negatif. Tesis positif menyatakan bahwa cara intuisionik untuk mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah koheren dan masuk akal, matematika intuisionik membentuk teori yang jelas, sementara tesis negatif menyatakan bahwa cara klasik untuk mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah tidak koheren dan tidak masuk akal, matematika klasik memiliki bentuk yang menyimpang dan banyak yang tidak jelas. Namun, para konstruktivis belum menunjukkan bahwa ada masalah yang tak terhindarkan untuk menghadapi matematika klasik meskipun tidak koheren dan tidak valid. Memang matematika klasik murni dan terapan telah hilang sejak program konstruktivis diusulkan.
Masalah lain dari pandangan konstruktivisme adalah beberapa hal tidak konsisten dengan matematika klasikal, misalnya, rangkaian bilangan real seperti yang didefenisikan oleh intuisionis dapat dihitung. Ini bertentangan dengan hasil klasik bukan karena ada kontradiksi yang sudah menjadi sifat, tetapi karena defenisi bilangan real berbeda. Gagasan konstruktivisme memiliki arti yang berbeda dari gagasan klasik. Dari perspektif epistemology baik tesis positif dan negatif dari intuisionime memiliki kekurangan. Intuisionis memberikan landasan tertentu untuk kebenaran matematika dengan menurunkannya dari aksioma intuisi tertentu menggunakan metode pembuktian intuitif. Pandangan ini mendasarkan pengetahuan matematika secara eksklusif pada keyakinan subjektif. Namun, kepercayaan absolut tidak dapat didasarkan pada keyakinan subjektif saja. Juga ada jaminan bahwa intuisi intuisionis yang berbeda tentang kebenaran dasar akan serupa, akan tetapi ini tentu saja tidak ada.

C.    Objek-objek Matematika

Plato (427-349 SM) merupakan seorang realis, dia mempercayai bahwa realitas itu ada dan tidak terikat pikiran manusia. Suatu sistem dikatakan benar jika suatu pernytaaan menjelaskan keadaan sesungguhnya dari realitas yang terbebas dari pikiran. Pernyataan Plato yang terkenal adalah “ Sesuatu adalah saya sebagaimana hal itu terjadi pada saya, dan sesuatu itu adalah kamu sebagaimana hal itu terjadi pada kamu.
Plato meyakini bahwa benda-benda di alam semesta terbagi ke dalam dua kelas, yaitu yang berbentuk materi dan non materi. Benda-benda  seperti matahari, pohon, binatang  berbentuk materi, sementara kebaikan, keburukan, jiwa seorang manusia termasuk kaategori non materi. Suatu gambar empat persegi panjang termasuk kategori materi, tetapi persegi panjang itu sendiri termasuk ke dalam kategori non materi.
Aristoteles (384-322 SM) seorang murid dari Plato selama dua puluh tahun, tetapi ia sendiri tidak setuju dengan Plato mengenai hakekat matematika. Bagi dia kata “ dua” bukan suatu kata benda untuk suatu obyek abstrak yang bebas dari obyek fisik, tetapi suatu keterangan merumuskan suatu obyek fisik, misal panjangnya dua meter (Anglin, 1994). Obyek-obyek matematika dibedakan menjadi dua yaitu obyek formal dan obyek material.

1.      Obyek Formal

Obyek formal (Malawi, 2005) adalah menyelidiki segala sesuatu itu guna mengerti sedalam dalamnya, atau mengerti obyek materia itu secara hakiki, mengerti kodrat segala sesuatu itu secara mendalam (to know the nature of everything). Secara formal (Marsigit, 2009), obyek matematika berupa benda-benda pikir. Benda-benda pikir diperoleh dari benda konkrit dengan melakukan “abstraksi” dan “idealisasi”. Idealisasi (Pincock, 2007) matematika adalah representasi ilmiah, yang diyakini salah, dan di mana matematika memainkan peran penting. Idealisasi (Marsigit, 2009) adalah kegiatan menganggap sempurna sifat-sifat yang ada. Abstraksi matematika (Wikipedia) adalah proses mengekstraksi esensi yang mendasari konsep matematika, menghilangkan segala ketergantungan pada objek dunia nyata yang dengannya semula mungkin telah terhubung, dan menggeneralisasikannya sehingga memiliki penerapan yang lebih luas atau menyamakan antara deskripsi abstrak lainnya dari fenomena yang setara. Abstraksi (Marsigit, 2009) adalah kegiatan di mana hanya mengambil sifat-sifat tertentu saja untuk dipikirkan atau dipelajari.

2.      Obyek Material

Obyek material (Malawi, 2005) yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materi konkret, psisik, maupun yang material abstrak, psikis. Secara material (Marsigit, 2009), obyek matematika dapat berupa benda-benda kongkrit, gambar atau model kubus, berwarna-warni lambang bilangan besar atau kecil, kolam berbentuk persegi, atap rumah berbentuk limas, piramida-piramida di Mesir, kuda-kuda atap rumah berbentuk segitiga siku-siku, roda berbentuk lingkaran, dst.

D.    Ontology dan Epistemologi Matematika Model

1.      Ontology Matematika Model

Asmal Bakhtiar (2005 : 134) mengartikan ontologi sebagai sebuah ilmu yang membahas mengenai hakikat yang ada. Dalam ilmu filsafat sebuah ada tidak diadakan oleh dirinya sendiri, tetapi oleh ada lainnya (situasi maupun pihak lain), sebagai penyebab ada (causa prima) (Watloly, 2013:28). Sementara itu menurut Marsigit (2015 : 95) ontologi matematika berusaha memahami keseluruhan dan kenyataan matematika, yaitu segala matematika yang mengada. Dalam kaitannya dengan matematika, pendekatan ontologis matematika adalah dengan mencari pengertian menurut akar dan dasar terdalam dari kenyataan matematika. Pendekatan ontologis digunakan untuk menerima kenyataan dalam matematika. Pendekatan ini berusaha untuk mengkaji bagaimana mencari inti dari setiap kenyataan yang ditemukan terkait matematika, membahas apa yang kita ingin ketahui tentang matematika, seberapa jauh kita ingin tahu, serta menyelidiki sifat dasar dari apa yang ada secara fundamental.
Contoh dari ontologi matematika adalah kajian mengenai pernyataan apakah benda-benda geometri pada dimensi tinggi itu hanya tergantung pada pemikiran manusia? Pembahasan-pembahasan ini menggunakan prinsip ontology matematika dimana hal ini lebih mengkaji tentang objek abstrak dalam matematika.

2.      Epistemologi Matematika Model

Abbas Hammami Mintarejo (Surajiyo, 2008: 25) berpendapat bahwa epistemologi adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu. Sementara itu, menurut Aholiab Watloly (2013:34), epistemologi diartikan sebagai pengetahuan atau teori tentang pengetahuan dengan mengandalkan adanya sumber-sumber pengetahuan, struktur logis (nalar), jangkauan, metode atau cara kerja, serta nilai dan tanggung jawab dalam mengerjakan pengetahuan.
Dalam kaitannya dengan matematika, epistemologi memandang matematika sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang objek kajiannya merupakan ide yang terdapat dalam pikiran manusia yang sifatnya abstrak. Menurut Immanuel Kant awal dari pengetahuan matematika adalah kesadaran tentang matematika. Kesadaran demikian dianggap sebagai wadah dari kenyataan matematika (Marsigit, 2015 : 131). Pengetahuan matematika juga berkaitan dengan akal budi dan pengalaman yang ada di dalam diri kita. Di satu sisi akal budi yang yang murni akan menghasilkan kesadaran tentang kenyataan matematika yaitu sebagai kenyataan yang bersifat a priori namun di sisi yang lain kita memerlukan eviden yang berasal dari pengalaman manusia yang menghasilkan kenyataan matematika sebagai kenyataan sintetik.
Contohnya saat ini kita telah mengenal berbagai teorema dalam matematika (misalnya teorema Phytagoras), teorema teorema tersebut ada dalam pikiran kita dikarenakan karena adanya pengalaman dan kesadaran kita terhadapnya.

E.     Perkembangan Matematika dan Matematika Model

Pada awal perkembangannya, matematika merupakan kajian  sistematis tentang bentuk (shape) dan gerakan objek fisis dalam kehidupan sehari-hari (berhubungan erat terutama dengan fisika). Kajian dilakukan dengan mengeksplorasi konsep-konsep kuantitas, struktur, ruang, dan  perubahan, yang tentu saja berdasarkan penggunaan logika penalaran manusia (Djati, 2015)

Eksplorasi yang dilakukan berlandaskan : (i) Abstraksi dan simbolisasi, (ii) Penetapan aksioma, definisi (iii) Formulasi konjektur (‘dugaan’), (iv) Deduksi secara taat azas (‘rigorous’) berdasarkan penalaran untuk menyatakan kebenaran dugaan, serta (v) membangun teorema.
Kajian dengan tujuan mengembangan pengetahuan matematika secara internal (pengembangan konjektur, teorema, pendekatan altenatif)  sering dikategorikan sebagai kajian  matematika murni (pure mathematics). Sedangkan kajian dalam arah eksternal yang melibatkan bidang pengetahuan (atau keilmuan lain) dikategorikan sebagai kajian matematika terapan (applied mathematics). Pengembangan ekternal ini meliputi kajian model matematis, metode matematis (dibangun berdasarkan teorema-teorema) yang sesuai, serta metode komputasinya.

1.      Konsep Kalkulus atau Limit Leibniz

Leibniz adalah yang pertama kali menggunakan tanda integral modern, menggunakan huruf S yang diambil dari kata Latin summa seperti   dan . Dalam makalahnya ia memperkenalkan dx sebagai interval terhingga sebarang dan kemudian mendefinisikan dy melalui proporsi dy : dx = y : subtangen. Berbagai tauran diferensial yang elementer yang kemudian dipelajari oleh siswa  diturunkan oleh Libniz. Aturan untuk menemukan turunan ke n dari perkalian fungsi yang  dikenal dengan Aturan Leibniz ( Eves, 1964).
Leibniz  berpendapat bahwa dy dan dx pada dy/dx sebagai besaran decimal yang tak berhingga (infinesimal). Jadi dx adalah suatu inkremen yang tidak nol tetapi kecil sekali dalam x dan mendefinisikan dy = f(x + dx) – f(x) dan biasanya tidak sama dengan nol. Sebagai contoh, jika  maka .  Ini merepresentasikan „rise‟ pada fungsi f yang berkorespondensi dengan „run‟ dari dx.  Kemiringan dari garis singgung pada x adalah , dan karena dx menuju nol maka kemiringan garis singgung tersebut adalah 2x (Anglin, 1994).

2.      Matematika Formal Hillbert

David Hilbert (1642 –1943) (Marsigit, 2012) berpendapat bahwa matematika adalah tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Contohnya adalah bilangan lima yang memiliki beberapa simbol seperti 5 atau V. Istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna (Anglin dalam Marsigit, 2012). Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti aturan (Ernest dalam Marsigit, 2012). Ernest (Marsigit, 2012) menjelaskan bawa formalis memiliki dua dua tesis, 1. Matematika sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan secara asal-asalan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal; 2. Sistem formal ini terbebas dari ketidakkonsistenan. 
Dalam bukunya Grundlagen der Geometrίe (1899), Hilbert (Marsigit, 2010) mempertajam metode matematika dari materi aksiomatik Euclid kepada aksiomatik formal seperti saat ini. Metode ini dikembangkan Hilbert sebagai respon terhadap kritik intuisionis terhadap paradoks teori himpunan. Tesis formalis adalah bahwa Matematika menitikberatkan kepada sistem formal simbolik. Hingga pada akhirnya Matematika menjadi sekumpulan pengembangan yang abstrak dimana istilah-istilahnya hanyalah simbol dan pernyataan yang melibatkan simbol saja. Landasan utama dari Matematika tidak lagi terletak pada logika namun pada sekumpulan nilai pralogika atau simbol dan sekumpulan operasi yang melibatkan simbol-simbol tersebut. Dalam sistem formal, segalanya mengalami reduksi menjadi aturan dan forma (Marsigit, 2010). Matematika mengalami pergeseran dari konten konkrit kepada konten yang hanya memuat unsur-unsur simbolik ideal. Penyusunan konsistensi dari beragam cabang Matematika menjadi penting dalam Matematika formal. Karena tanpa pembuktian yang konsisten, seluruh Matematiak formal menjadi tidak dapat dijangkau (Marsigit, 2010).
David Hilbert (Marsigit, 2012) merumuskan suatu sistem aksioma dan aturan inferensi yang akan mencakup semua matematika, dari dasar aritmatika hingga mahir kalkulus; impiannya adalah menyusun metode penalaran matematika dan menempatkan mereka dalam kerangka tunggal. Hilbert menegaskan bahwa suatu sistem formal dari aksioma dan aturan harus konsisten, yang berarti bahwa seseorang tidak dapat membuktikan sebuah pernyataan dan kebalikannya pada saat yang sama, ia juga menginginkan skema yang lengkap, artinya satu selalu dapat membuktikan pernyataan yang diberikan bisa benar atau salah. Hilbert berpendapat bahwa harus ada prosedur yang jelas untuk memutuskan apakah suatu proposisi tertentu berikut dari himpunan aksioma, dengan itu, diberikan sebuah sistem yang jelas dari aksioma dan aturan inferensi yang tepat, akan lebih mungkin, meskipun tidak benar-benar praktis, untuk menjalankan melalui semua proposisi mungkin, dimulai dengan urutan terpendek simbol, dan untuk memeriksa mana yang valid. Pada prinsipnya, suatu prosedur keputusan secara otomatis akan menghasilkan semua teorema mungkin dalam matematika.
Di sisi lain, Hilbert (Marsigit, 2012) menjelaskan bahwa matematika formal didasarkan pada logika formal; mengurangi hubungan matematis untuk pertanyaan keanggotaan himpunan; objek primitif hanya terdefinisi dalam matematika formal adalah himpunan kosong yang berisi apa-apa. Ada klaim bahwa hampir setiap abstraksi matematika yang pernah diselidiki dapat diturunkan sebagai seperangkat aksioma teori himpunan dan hampir setiap bukti matematis yang pernah dibangun dapat dibuat dengan asumsi tidak ada di luar yang aksioma. Itu juga menyatakan bahwa jika tak terhingga merupakan potensi dan tidak pernah menjadi kenyataan selesai maka himpunan terbatas tidak ada, karena itu, ahli matematika mencoba untuk mendefinisikan struktur tak terbatas yang paling umum dibayangkan karena itu tampaknya memberikan harapan paling baik, jika himpunan tidak terbatas ada maka akan menjadi landasan matematika yang kokoh. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa matematika harus langsung terhubung ke sifat program non-deterministic di alam semesta yang potensial tidak terbatas, hal ini akan membatasi ekstensi untuk sebuah himpunan bilangan ordinal dan himpunan yang dapat dibangun dari mereka. Obyek didefinisikan dalam suatu sistem matematis yang formal tidak peduli apakah aksioma tak terhingga itu termasuk yang dimasukkan, dan bahwa sistem formal dapat diartikan sebagai suatu program komputer untuk menghasilkan teorema di mana program tersebut dapat menghasilkan semua nama-nama benda atau himpunan yang didefinisikan dalam sistem tersebut. Selanjutnya, semua bilangan kardinal yang lebih besar yang pernah didefinisikan dalam sistem matematika yang terbatas, tidak akan dihitung dari dalam sistem tersebut.

3.      Teorema Godel dan Bilangan Godel

Menurut Marsigit (2012) Gödel showed Hilbert's Program can not succeed. This was proven in what is now called Gödel's Incompleteness Theorem:Let S be a formal system for number theory. If S is consistent, then there is a sentence, G, such that neither G nor the negation of G (written G) is a theorem of S. Thus, any formal system sufficient to express the theorems of number theory has to be incomplete. Proof:S can prove P(n) just in case n is the Gödel-number of a theorem of S. There exists k, such that k is a Gödel-number of the formula P(k)=G. This statement says of itself, it is not provable. Even if we define a new formal system S = S + G (thus including the undecidable theorem as an axiom), we can find G which isn't provable in (is independent of) S. The reasoning Gödel used for his incompleteness theorem is finitary, so it could be formalized inside S. Thus, S can prove that if S is consistent, then G is not provable. Note that the underlined phrase is what G says, so S proves Cst(S)  implies G is true, but G says G is not provable. Suppose S can prove Cst(S), then S can prove G, but if S is consistent, it can't prove G, thus it can't prove its consistency. Thus, Hilbert's Program does not work; one cannot prove the consistency of a mathematical theory.
Hilbert berpendapat bahwa pembuktiannya memperkuat posisi epistemologis dari foundationalism, namun pada tahun 1931 Kurt Godel, seorang jenius muda matematika membuktikan kesalahan pernyataan Hilbert. Godel berhasil membuktikan adanya pernyataan yang tidak dapat dibuktikan benar ataupun salah bahkan dalam sistem formal yang sufficiently rich. Godel membuktikan kesalahan Hilbert, dan dengan demikian telah meledakkan bom di dalam matematika itu sendiri. Dia membuat orang sadar bahwa matematika pun tak dapat membuktikan dirinya sendiri sebagai sistem yang dapat menjamin konsistensi dan mendeteksi adanya inkonsistensi dari dalam sistem itu sendiri. Teorema Godel ini secara singkat menyatakan bahwa dalam sebuah sistem formal aritmetika S, akan ada kalimat P dalam bahasa S sedemikian rupa sehingga (jika S konsisten) baik P maupun negasinya tidak akan dapat dibuktikan di dalam S. Jika Godel benar, maka foundationalism tidak lagi dapat menyandarkan jaminan Epistemologisnya pada kepastian matematika, karena formalisme matematika itu sendiri telah terbukti gagal dalam menjamin konsistensi dirinya. S dapat membuktikan P (n) hanya dalam kasus n adalah nomor Gödel dari teorema S. Ada k, sehingga k adalah Gödel-nomor dari rumus P (k) = G. Pernyataan ini berkata tentang dirinya sendiri, itu tidak dapat dibuktikan. Bahkan jika kita mendefinisikan sistem formal baru S = S + G (dengan demikian termasuk teorema yang tidak dapat diputuskan sebagai aksioma), kita dapat menemukan G yang tidak dapat dibuktikan (tidak tergantung) S. Alasan Gödel digunakan untuk teorema ketidaklengkapannya adalah finitary, sehingga bisa diformalkan di dalam S. Jadi, S dapat membuktikan bahwa jika S konsisten, maka G tidak dapat dibuktikan. Perhatikan bahwa frasa yang digarisbawahi adalah apa yang dikatakan G, jadi S membuktikan Cst (S) menyiratkan G adalah benar, tetapi G mengatakan G tidak dapat dibuktikan. Misalkan S dapat membuktikan Cst (S), maka S dapat membuktikan G, tetapi jika S konsisten, itu tidak dapat membuktikan G, sehingga tidak dapat membuktikan konsistensinya. Jadi, Program Hilbert tidak berfungsi; seseorang tidak dapat membuktikan konsistensi teori matematika.
Teorema ketaklengkapan Gödel (bahasa InggrisGödel's incompleteness theorems) adalah dua teorema logika matematika yang menetapkan batasan (limitation) inheren dari semua kecuali sistem aksiomatik yang paling trivial yang mampu mengerjakan aritmetika. Teorema-teorema ini, dibuktikan oleh Kurt Gödel pada tahun 1931, penting baik dalam logika matematika maupun dalam filsafat matematika. Kedua hasil ini secara luas, tetapi tidak secara universal, ditafsirkan telah menunjukkan bahwa program Hilbert untuk menghitung himpunan lengkap dan konsisten dari aksioma-aksioma bagi semua matematika adalah tidak mungkin, sehingga memberikan jawaban negatif terhadap soal Hilbert yang kedua (Wikipedia).
Teori ketidaklengkapan pertama: Setiap teori yang dihasilkan secara efektif yang mampu menyatakan aritmetika elementer tidak dapat sama-sama konsisten dan lengkap atau komplet. Khususnya, untuk setiap teori formal yang secara efektif dihasilkan dan yang konsisten, yang membuktikan kebenaran aritmetika dasar tertentu, ada suatu pernyataan aritmetika yang benar, tetapi tidak dapat dibuktikan dalam teori ini (Kleene 1967: 250)
Teorema ketidaklengkapan kedua: Untuk setiap teori T yang dihasilkan formal secara efektif memuat kebenaran aritmetika dasar dan juga kebenaran tertentuk mengenai provabilitas formal, jika T memuat suatu pernyataan mengenai konsistensinya sendiri,maka T inkonsisten.
Bilangan Godel. Gödel numbering is a function that assigns to each symbol and well-formed formula of some formal language a unique natural number, called its Gödel number. The concept was used by Kurt Gödel for the proof of his incompleteness theorems. Godel number dan ditentukan oleh berikut ini:
(G1) Godel number  dari atoms A, B, C, ... masing-masing,
       
(G2)    
Pengenalan Godel number  memungkinkan kita untuk menyatakan sebagai berikut varian aritmatika dengan ketentuan (F3") dalam bagian 1:Angka natural g adalah Godel number  dari formula implikasi logika murni jika dan hanya jika ada urutan bilangan terbatas gl, g2, ..., gk seperti itu, untuk setiap j (1 <j <k), lebih baik adalah angka natural h sehingga gj = ke 7 atau dapat ditemukan bilangan natural m dan n (l<m, n <j) sehingga gj =  , sedangkan gk = g.

4.      Tarski's Undefinability Theorem

Salah satu karya yang paling terkenal dari Tarski adalah logika dalam bidang matematika. Ia menciptakan teori-model, pengertian-kebenaran, definisi-terhingga Taski, bilangan kardinal terukur dan bilangan kardinal tak terpakai, dan masalah kepastian aljabar elementer serta logika analitik. Ia seorang penganut paham neo-positivisme (Wikipedia). Tarski (dalam Guerrier, 2008) dalam tulisannya yang berjudul “The concept of truth in languages of deductive sciences” menunjukkan bahwa tujuannya adalah menyusun definisi dari proposisi kebenaran yang memadai secara materi dan tepat secara formal. Proyek Tarski adalah menjembatani secara nyata antara sistem formal dan realita. Pada tahun 1944 dia mengemukakan kembali konsep kebenaran klasik milik Aristoteles dalam bahasa yang modern melalui definisi berikut: ‘the truth of a proposition lies in its agreement (or correspondence) with reality; or a proposition is true if it designates an existent state of things.’’
Kebenaran proposisi terletak pada kesepakatan (atau korespondensi) dengan realita, atau suatu proposisi bernilai benar jika ia membentuk status keberadaan sesuatu. Untuk mengelaborasi konstruksi rekursif dari kebenaran suatu proposisi, Tarski mengenalkan konsep yang lebih umum tentang ‘‘satisfaction of a propositional function (a predicate) by such or such objects, kesesuaian fungsi proposisi objek’’ kepada fakta bahwa ‘‘complex propositions are not aggregates of propositions, but obtained from propositional functions. Proposisi kompleks tidak beragregasi, tetapi diperoleh dari fungsi proposisi’’ Definisi ini menegaskan fakta bahwa status kebenaran dari sebuah fungsi proposisi mesti berlaku di dunia realita.
Hal ini memungkinkan bagi kita untuk mengonstruk kriteria kesesuaian suatu formula yang kompleks terhadap predikat kalkulus pada struktur manapun secara rekursif dengan menggunakan intepretasi terhadap tiap huruf pada formula. Sehingga dapat didefinisikan ungkapan tentang “model for a formula”, yang mengatur suatu struktur interpretasi dari suatu formula yang memenuhi setiap rangkaian objek yang relevan.
Hal ini menjadi jalan bagi Tarski dalam mendefinisikan notion yang fundamental tentang “konsekuensi logis dalam sudut pandang semantik”: suatu formula G menyesuaikan dari suatu formula F secara logis  jika dan hanya jika setiap model dari F merupakan model bagi G. Hal ini bermakna bahwa formula “ adalah benar untuk setiap intepretasi terhadap F dan G pada setiap struktur tak kosong. Contohnya, dalam konteks semantik, “Q(x)” merupakan konsekuensi logis dari “ Perhatikan bahwa ini merupakan ekstensi dari hasil korespondensi yang dihasilkan oleh Wittgenstein, dalam pemahaman bahwa “Q(x)” dan “ bukan merupakan variabel proposisi, tapi fungsi proposisi. Sehingga tidak mungkin untuk menggunakan tabel kebenaran secara langsung.
Model pendekatan teoritik dikembangkan oleh Tarski dalam bukunya Introduction to logic and to the methodology of the deductive sciences. Diketahui suatu teori deduktif yang memungkinkan memahami suatu sistem aksiomatik sebagai bahasa formal dan mengintepretasikan kembali sistem dengan interpretasi yang lain. Interpretasi dimana suatu aksioma bernilai benar disebut dengan model sistem aksiomatik. Pendekatan ini (Beth, 1962) menjadikan tak berhingga banyaknya formula sebagai aksioma, yang diperoleh dari beberapa aksioma tertentu yang digunakan berulang-ulang pada aturan inferensial. Aksioma-aksioma tersebut dinamakan tesis. beberapa karakter tesis yang mendasar antara lain, (i)  (ii)  (iii)
Dari tesis-tesis tersebut dikembangkan menggunakan skema inferensial dan modus Ponens sehingga diperoleh berbagai teorema. Misalnya akan dibuktikan bahwa  juga merupakan tesis. Dari karakter aksioma I maka dapat disusun implikasi berupa (1)  (. Sedangkan dari karakter aksioma II dapat disusun implikasi (2) . Dari (1) dan (2) dengan skema (iij) maka diperoleh (Hal tersebut memberikan beberapa hasil yang penting:
“Semua teorema dibuktikan dari suatu sistem aksiomatik yang valid untuk setiap interpretasi sistem”
Teorema tersebut menunjukkan hubungan antara semantik dan sintak sekaligus mengarahkan kita kepada metode yang penting dalam pembuktian bahwa suatu pernyataaan bukan merupakan konsekuensi logis dari teori aksioma. Dengan begitu, Tarski telah memberikan perbedaan yang jelas antara kebenaran dalam suatu interpretasi dan kebenaran sebagai konsekuensi logis dari suatu sistem aksiomatik dibandingkan dengan kedua metode sebelumnya, metode aksiomatik memiliki perbedaan yang cuku jelas.
Rounded Rectangle: Tarski's undefinability theorem (general form): Let (L,N) be any interpreted formal language which includes negation and has a Gödel numbering g(x) such that for every L-formula A(x) there is a formula B such that B ↔ A(g(B)) holds in N. Let T* be the set of Gödel numbers of L-sentences true in N. Then there is no L-formula True(n) which defines T*. That is, there is no L-formula True(n) such that for every L-formula A, True(g(A)) ↔ A is itself true in N.

Menurut Brendan, teorema undefinability Tarski menyatakan bahwa tidak ada cara untuk mengekspresikan kebenaran aritmetika dalam logika tingkat pertama. Tujuan dari hal berikut adalah untuk memberikan yang tepat presentasi teorema yang harus dapat diakses oleh siapa saja yang memiliki pengalaman bekerja dengan logika tingkat pertama.

Seseorang tidak dapat mengatakan bahwa kemajuan dalam meta-mathematics merevolusi Seluruh bidang matematika "murni", seperti yang diyakini oleh Gödel, harus dilakukan (Wang, 1988:168) Namun, perjuangan Tarski untuk membuat metamathematik yang menarik bagi matematikawan berhasil, meskipun tidak segera. Sebenarnya, cabang matematika baru keluar, yang menggabungkan metode metamathematical dan matematika, seperti model-teori aljabar, analisis model-teori, geometri aljabar nyata, aljabar komputer, dll. Cabang-cabang ini menggunakan banyak metode yang dibentuk oleh Tarski, dan pertama-tama alat yang berasal dari analisis Tarski tentang pengertian definisi. Memang, mungkin memang begitu lebih mudah untuk menyatakan sifat matematika dari beberapa objek dengan menganalisis rumus sintaksis yang melaluinya mereka dapat didefinisikan alih-alih mendeduksi sifat-sifat ini dengan cara matematika murni. Ini masalahnya, misalnya, untuk membuktikan bahwa proyeksi set semi-aljabar masih semi-aljabar (Bochnak, 1987:23). Jika metamathematika tidak merevolusi seluruh bidang matematika "murni", namun demikian tidak diragukan lagi itu telah menjadi bagian integral dari matematika standar daripada "murni" matematikawan diharapkan.

5.      Penyelesaian Entscheidungsproblem oleh Alan Turing

Dalam matematika dan ilmu komputer, Entscheidungsproblem (diucapkan [ɛntˈʃaɪ̯dʊŋspʁoˌbleːm], bahasa Jerman untuk "masalah keputusan") adalah tantangan yang diajukan oleh David Hilbert dan Wilhelm Ackermann pada tahun 1928 (Hilbert, 1928). Masalahnya meminta algoritma yang mengambil sebagai input pernyataan logika urutan pertama (mungkin dengan sejumlah aksioma di luar aksioma logika urutan pertama) dan menjawab "Ya" atau "Tidak" sesuai dengan apakah pernyataan itu secara universal valid, yaitu, valid dalam setiap struktur memuaskan aksioma. Dengan teorema kelengkapan logika tingkat pertama, sebuah pernyataan secara universal valid jika dan hanya jika dapat disimpulkan dari aksioma, sehingga Entscheidungsproblem juga dapat dilihat sebagai meminta algoritma untuk memutuskan apakah pernyataan yang diberikan dapat dibuktikan dari aksioma. menggunakan aturan logika.
Pada tahun 1936, Alonzo dan Alan Turing menerbitkan makalah independen (Alonzo. 1936) yang menunjukkan bahwa solusi umum untuk Entscheidungsproblem tidak mungkin, dengan asumsi bahwa gagasan intuitif "dihitung secara efektif" ditangkap oleh fungsi yang dihitung oleh mesin Turing (atau setara, oleh yang dapat diungkapkan dalam kalkulus lambda). Asumsi ini sekarang dikenal sebagai tesis Alonzo-Turing.
Asal usul Entscheidungsproblem kembali ke Gottfried Leibniz, yang pada abad ketujuh belas, setelah membangun mesin penghitung mekanis yang sukses, bermimpi membangun sebuah mesin yang dapat memanipulasi simbol untuk menentukan nilai kebenaran dari pernyataan matematika (Davis, 1965). Dia menyadari bahwa langkah pertama harus menjadi bahasa formal yang bersih, dan banyak dari pekerjaan selanjutnya diarahkan ke tujuan itu. Pada tahun 1928, David Hilbert dan Wilhelm Ackermann mengajukan pertanyaan dalam bentuk yang diuraikan di atas.
Sebagai kelanjutan dari "program" -nya, Hilbert mengajukan tiga pertanyaan pada sebuah konferensi internasional pada tahun 1928, yang ketiga dikenal sebagai "Hilts's Entscheidungsproblem." yang disiapkan oleh Paul Bernays sampai tahun 1930, Hilbert percaya bahwa tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan (Hodges. 1939).
Sebelum pertanyaan dapat dijawab, gagasan "algoritma" harus didefinisikan secara formal. Ini dilakukan oleh Alonzo pada tahun 1936 dengan konsep "kalkulasi efektif" berdasarkan λ-kalkulusnya dan oleh Alan Turing pada tahun yang sama dengan konsep mesin Turing. Turing segera mengakui bahwa ini adalah model perhitungan yang setara.
Jawaban negatif untuk Entscheidungsproblem kemudian diberikan oleh Alonzo pada tahun 1935-1936 dan secara independen segera sesudahnya oleh Alan Turing pada tahun 1936. Gereja membuktikan bahwa tidak ada fungsi yang dapat dihitung yang memutuskan untuk dua ekspresi λ-kalkulus yang diberikan apakah mereka setara atau tidak. Dia sangat bergantung pada pekerjaan sebelumnya oleh Stephen Kleene. Turing mengurangi pertanyaan tentang keberadaan 'metode umum' yang memutuskan apakah Mesin Turing yang diberikan berhenti atau tidak (masalah terputus-putus) menjadi pertanyaan tentang keberadaan 'algoritma' atau 'metode umum' yang dapat menyelesaikan Entscheidungsproblem. Jika 'Algoritma' dipahami sebagai setara dengan Mesin Turing, dan dengan jawaban untuk pertanyaan terakhir negatif (secara umum), pertanyaan tentang keberadaan Algoritma untuk Entscheidungsproblem juga harus negatif (secara umum). Dalam makalahnya tahun 1936, Turing mengatakan: "Sesuai dengan masing-masing mesin komputasi 'itu' kami membangun rumus 'Un (itu)' dan kami menunjukkan bahwa, jika ada metode umum untuk menentukan apakah 'Un (itu)' dapat dibuktikan, lalu ada metode umum untuk menentukan apakah 'itu' pernah mencetak 0 ".
Karya Alonzo dan Turing sangat dipengaruhi oleh karya Kurt Gödel sebelumnya tentang teorema ketidaklengkapannya, terutama dengan metode penetapan angka (penomoran Gödel) ke rumus logis untuk mengurangi logika ke aritmatika. Entscheidungsproblem terkait dengan masalah kesepuluh Hilbert, yang meminta algoritma untuk memutuskan apakah persamaan Diophantine memiliki solusi. Tidak adanya algoritma semacam itu, yang didirikan oleh Yuri Matiyasevich pada tahun 1970, juga menyiratkan jawaban negatif terhadap Entscheidungsproblem.
Beberapa teori orde pertama dapat ditentukan secara algoritmik; contoh dari ini termasuk aritmatika Presburger, bidang tertutup nyata dan sistem tipe statis dari banyak bahasa pemrograman. Namun, teori orde pertama umum dari bilangan asli yang diekspresikan dalam aksioma Peano tidak dapat diputuskan dengan suatu algoritma.
Memiliki prosedur keputusan praktis untuk kelas formula logis sangat menarik untuk verifikasi program dan verifikasi rangkaian. Rumus logis Boolean murni biasanya diputuskan menggunakan teknik pemecahan SAT berdasarkan pada algoritma DPLL. Rumus konjungtif atas aritmatika nyata atau rasional linier dapat diputuskan dengan menggunakan algoritma simpleks, rumus dalam aritmatika integer linier (aritmatika Presburger) dapat diputuskan menggunakan algoritma Cooper atau uji Omega William Pugh. Rumus dengan negasi, konjungsi dan disjungsi menggabungkan kesulitan pengujian kepuasan dengan keputusan konjungsi; mereka umumnya diputuskan saat ini menggunakan teknik pemecahan SMT yang menggabungkan pemecahan SAT dengan prosedur keputusan untuk konjungsi dan teknik propagasi. Aritmatika polinomial nyata, juga dikenal sebagai teori bidang tertutup nyata, dapat dipilih; ini adalah teorema Tarski-Seidenberg, yang telah diimplementasikan di komputer dengan menggunakan dekomposisi aljabar silinder.

6.      Munculnya Mathematics Non Standard

Berdasarkan artikel “On the Foundations of Nonstandard Mathematics “ karya Nasso. Fakta dasar dalam teori model adalah setiap struktur matematika tak hingga memiliki model yang tidak standar, yaitu struktur non-isomorfik yang memenuhi sifat dasar yang sama. Dengan kata lain, ada hal yang berbeda namun memiliki struktur yang sama. Keberadaan model yang tidak standar pertama kali ditunjukkan oleh Thoralf Skolem, karena terdapat ketertarikan dalam hal ini maka studi tentang teori model berkembang pesat. Abraham Robinson memiliki gagasan sistematis merapkan analisis teori model Ery Machin, dengan mempertimbangkan eksistensi tidak standar dari sistem bilangan real, maka akan mampu menyediakan penggunaan angka yang sangat kecil secara lebih terinci, sehingga dapat memberikan solusi untuk masalah yang tidak dapat diselesaikan selama berabad-abad. Eksistensi tidak standar dari sistem bilangan real disebut angka hiperreal.
Strategi khas dalam analisis tidak standar adalah sebagai berikut. Asumsikan kita ingin membuktikan (atau menyangkal) beberapa dugaan P tentang beberapa matematika struktur ​ M.​ Memformalkan P sebagai formula urutan pertama ​ φ​ . Itu bisa terjadi bahwa lebih mudah untuk memutuskan ​ P ​di beberapa tidak standar Model *M di mana alat tambahan tersedia (misalnya, infinitesimals), bukan di ​ model standar​ M.Setelah properti P, seperti yang secara resmi diekspresikan oleh rumus ​ φ​, telah terbukti atau dibantah dalam *M, dengan mentransfernya benar (atau salah) dalam stuktur standar M juga.          
Pemodelan tidak standar adalah pemetaan dari Superstruktur model standar ke superstruktur laun yang disebut model tak standar, yang memenuhi sifat-sifat berikut:
1.   Prinsip transfer
Untuk setiap rumus dibatasi, properti yang diekspresikan benar pada model standar jika dan hanya jika benar dalam model tak standar. Jika dengan kontradiksi memenuhi prinsip transfer untuk semua formula maka dapat dilanjutkan pada pembuktian yang lainnya.
2.   Properti Saturasi
Saturasi dikenal sebagai kejenuhan, kejenuhan adalah gagasan model teoritik khas yang biasanya didefinisikan dalam hal realisasi teori himpunan. Gagasan yang digunakan dalam prinsip saturasi adalah hubungan kekeluargaan, seberapa “dekat” hubungan sampel yang kita ambil dengan suatu himpunan tertentu dengan memperhatikan karakteristiknya.
3.   Standarisasi
Terdapat suatu himpunan, jika diambil sebarang  anggota standar dalam himpunan itu maka hasilnya adalah himpunan standar pula.
4.   Kesimpulan (Idealisasi)
Jika memenuhi ketiga prinsip di atas maka analisis non standar selesai, sehingga dapat diambil kesimpulanya.
Berikut merupakan contoh analisis non standar dalam beberapa kasus matematika.
Teori Himpunan Internal Nelson
Teori himpunan internal disampaikan oleh Edward Nelson pada tahun 1977 makalahnya. Teori himpunan internal adalah sebuah teori elegan diformulasikan sebagai hasil dari posisi filosofis yang tepat. Sehubungan dengan teori himpunan biasa, lambang st, yang disebut "standar" , adalah  bagian dari bahasa formal. Dengan cara ini pengertian dari himpunan standar adalah  hubungan keanggotaan dengan sifat yang sama, yaitu konsep dasar yang tidak boleh didefinisikan.
Aksioma teori himpunan internal Nelson yaitu:
a. ZFC.
Semua aksioma Zermelo-Fraenkel menetapkan teori dengan pilihan (termasuk regulerity) diasumsikan
b.                        Prinsip Transfer (T)
Untuk setiap -formula ϕ yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , y , berlaku:
st x 1 ··· st x n ( st y ϕ ↔ y ϕ )
c. Prinsip Idealisasi (I)
Untuk setiap -formula ϕ , berlaku:
stfin x y x x ϕ ↔ y st xϕ
d.                        Properti Standardisasi
Untuk setiap formula ϕ berlaku:
st x st y st z [ z y ↔ ( z x ϕ )]
e.    Terdapat rumus ϕ, dan anggap ϕ (0) dan st n N ϕ ( n ) → ϕ ( n + 1), kemudian st n N ϕ ( n ).
Teori himpunan tidak standar bertingkat (SNST) Fletcher
Sistem Fletcher menyediakan seluruh hierarki internal dan eksternal semesta.  Meskipun satu sistem formal diperlukan, namun tidak harus menggambarkan satu semesta pun. Postulat SNST meningkatkan urutan semesta internal dan eksternal diindeks di atas kardinal, di mana berbagai tingkat kejenuhan terpenuhi. Idealisasi penuh tidak berlaku, tetapi jumlah saturasi tertentu disediakan dengan bekerja di tingkat yang sesuai dari hierarki. Aksioma SNST adalah sebagai berikut:
a.       ZFC untuk semesta standar
b.      ZFC ± keteraturan yang lemah untuk semesta eksternal
c.       i α E α , i α i β dan E α E β untuk semua α ≤ β
d.      Setiap bagian yang sangat eksternal Eα \ iα adalah transitif. Seluruh internal semesta i = α i α bersifat transitif.
e.       Prinsip Transfer
Untuk setiap -formula ϕ yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , berlaku:
α β [ α ≤ β → α x 1 ··· α x n ( ϕ α ( x 1 ..., x n ) ↔ ϕ β ( x 1 , ..., x n ))]
f.       Properti Standardisasi
α ext, α a S b S x ( x a ↔ x b )
g.      Prinsip Idealisasi
α α r [ r adalah hubungan biner ∧∃ S f f ( σ α ) = σ r ]
[( Sfin a dom ( r ) α b S a ar ( a, b )) ( α b S a dom ( r ) r ( a, b )]

7.      Transformasi

Transformasi berarti perubahan, salah satu materi dalam matematika adalah transformasi geometri. Transformasi geometri merupakan perubahan suatu bidang geometri yang meliputi posisi, besar dan bentuknya sendiri. Jika hasil transformasi kongruen dengan bangunan yang ditranformasikan, maka disebut transformasi isometri. Transformasi isometri sendiri memiliki dua jenisya itu transformasi isometri langsung dan transformasi isometri berhadapan. Transformasi isometri langsung termasuk translasi dan rotasi, sedangkan transformasi isometri berhadapan termasuk refleksi.
a.              Refleksi merupakan transformasi geometri berupa pergeseran atau pemindahan semua titik pada bidang geometri kearah sebuah garis atau cermin dengan jarak sama dengan dua kali jarak titik kecermin.
b.             Rotasi  atau perputaran merupakan perubahan kedudukan objek dengan cara diputar melalui pusat dan sudut tertentu.
c.              Dilatasi  merupakan transformasi geometri berupa perkalian yang memperbesar atau memperkecil suatu bangunan geometri.
d.             Translasi merupakan pergeseran atau pemindahan semua titik pada bidang geometri sejauh dan arah yang sama. 
Translasi (Pergeseran) ; T =
   atau 

Refleksi (Pencerminan)
1.      Bila M matriks refleksi berordo 2 × 2, maka:
         atau 
2.      Matriks M karena refleksi terhadap sumbu X, sumbu Y, garis y = x, dan garis y = – x dapat dicari dengan proses refleksi titik–titik satuan pada bidang koordinat sbb:
Msb x
Msb y
My = x
My = – x

depan tetap belakang negasi
belakang tetap depan negasi
dibalik
dibalik dinegasi

3.      Refleksi terhadap garis y = n dan x = k
              a. A(x,y)           A’(x’, y’) = A’(x, – y + 2n)
                                                  ordinat di negasi + 2n
              b. A(x,y)           A’(x’, y’) = A’(–x + 2k, y)
                                                  absis di negasi + 2k

Rotasi (Perputaran)
R[O, q]
R[O, 90°]
R[O, –90°]



dibalik depan dinegasi
dibalik belakang dinegasi
D[O, k] Dilatasi (Perbesaran) dengan Faktor Pengali k dan pusat di O
   Þ
Komposisi Transformasi
P(x, y) P’(x’, y’); maka
Luas Hasil Transformasi
1.      Luas bangun hasil translasi, refleksi, dan rotasi adalah tetap.
2.      Luas bangun hasil transformasi adalah: L’ =






Referensi

Abdullah dan Jalaluddin. (2012). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Ali, H. (1987). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Alonzo Church, "An unsolvable problem of elementary number theory", American Journal of Mathematics, 58 (1936), pp 345–363
Andrew HodgesAlan Turing. 1983. The EnigmaSimon and Schuster, New York,. Alan M. Turing's biography. Cf Chapter "The Spirit of Truth" for a history leading to, and a discussion of, his proof.

 Anglin, W. S. (1994). Mathematics: A Concise History and Philosophy. New York: Springer-Verlag.
Asy’arie, M.(2016). Filsafat Ilmu Integritas dan Transendensi. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI).
Beth, Evert W. (1962). Formal methods. Dordrecth: D. Reidel Publishing Company
Bochnak, J., M. Coste, and M.-F. Roy: 1987, Géométrie algébrique réelle, Springer-Verlag, Berlin.
Darhim. (1983). Media Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru Matematika. Bandung.
Dris, J., dan Tasari, ,Matematika 2 Untuk SMP dan MTs Kelas VII, Pusat Kurikulum Perbukuan, Kementrian Pendidikan Nasional, Jakarta.
Eves, H. (1964). An Introduction to the History of Mathematics. New York: Holt, Rinehart and Winston:
Ernest, P. (1991). The Phylosophy of Mathematics Education. Francis: Routledge.
Guerrier. (2008). Truth versus validity in mathematical proof. ZDM Mathematics Education, 40 (1) p.373-384
Hilbert, David  (1928). Grundzüge der theoretischen Logik (Principles of Mathematical Logic). Springer-Verlag,
Jihad, A. (2017). Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Bandung: PT Cipta Persada.
Kneller, G. F. (1971). Introduction to The Philosophy of Education. New York: Jhon Willey Sons Inc.
Malawi, Ibadullah. (2005). Buku Pegangan Kuliah: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Institut Teknologi Pembangunan: Surabaya.
Marsigit. 2009. Pembudayaan Matematika di Sekolah untuk Mencapai Keunggulan Bangsa. Seminar Nasional Pembelajaran Matematika Sekolah. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.
_______.( ), Sejarah dan Filsafat Matematika. Di akses pada 8 Januari 2019 dari https://www.academia.edu/15234157/SEJARAH_KURIKULUM_DI_INDONESIA
_______.( 2010). Modul filsafat ilmu. Universitas Negeri Yogyakarta.
_______. (2012). Sejarah dan filsafat Matematika. Disampaikan pada Workshop Guru SMK RSBI Yogyakarta.
Martin Davis. (1965). "The Undecidable, Basic Papers on Undecidable Propositions, Unsolvable Problems And Computable Functions", Raven Press, New York Turing's paper is #3 in this volume. Papers include those by Gödel, Church, Rosser, Kleene, and Post.
Nasso. On the Foundation of Mathematics Nonstandar
Pincock, Christopher. (2007). Philosophy of Science. Proceedings of the 2006 Biennial Meeting of the Philosophy of Science AssociationPart I. The University of Chicago Press on behalf of the Philosophy of Science Association. DOI: 10.1086/525636. https://www.jstor.org/stable/10.1086/525636
Rjlipton (2010). Mathematical Intuition-What Is It?, https://rjlipton.wordpress.com/2010/10/01/mathematical-intuition-what-is-it/ (diakses 10 April 2019).
Salam, B. (1997). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta.
Sisnandar. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.



Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Dirjen Pendidikan Tinggi.
Syam, M. N. (1988). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Wang, H. (1988). Reflections on Kurt Gödel, A Bradford Book, MIT Press, Cambridge MA

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Filsafat Operasi Hitung Penjumlahan dan Pengurangan

Yogyakarta, November 2019 Filsafat Operasi Hitung Penjumlahan dan Pengurangan Oleh: Indra Kusuma Wijayanti Dalam Perkuliahan Filsafat Ilmu Bapak Marsigit Berbicara mengenai Filsafat, maka bagi saya erat kaitannya dengan menuliskan apa yang kita pikirkan dan memikirkan apa yang kita tuliskan. Tulisan kali ini akan membongkar pemaknaan filsafat penjumlahan menurut versi Indra Kusuma Wijayanti Penjumlahan, berawal dari kata dasar Jumlah memiliki makna tentang bertambah. Bertambah banyak. Bertambah sedikit. Bertambah kuat. Bertambah cerdas. Bertambah iman. Bertambah bersih. Dan bertambah lainnya. Hal yang bekebalikan dengan penjumlahan sudah tentu adalah pengurangan. Kata dasar pengurangan adalah kurang. Berkurangnya jatah hidup. Berkurangnya kegagahan. Berkurangnya daya ingat, dan lain sebagainya. Penjumlahan dan pengurangan merupakan bagian dari operasi hitung yang dikenal sejak SD sampai sekarang, dimanapun jenjang pendidikannya. Pengenalan mengenai penjumlahan dan pen...

Marsigit_Indra Kusuma W_Tugas Akhir Link

Tujuan dan manfaat akses link tugas di google: 1. Niat Ibadah 2. Sosialisasi ilmu 3. Promosi profesional development 4. Mengisi segmen medsos dengan kebaikan. 5. Motivasi yang lain. 6. Penguasaan ICT 7. Menyediakan sumber belajar 8. Arsip kegiatan belajar. Aamiin. Berikut Link untuk akses tugas akhir saya https://drive.google.com/drive/folders/1D4RZ1orxJfugCNAk1nx1GHoQqS8xjFjE  perbaikan link https://drive.google.com/folderview?id=1D4RZ1orxJfugCNAk1nx1GHoQqS8xjFjE