Abstrak
Secara
garis besar tulisan ini membahas mengenai perkembangan matematika dan
matematika model. Pendahuluan pada tulisan ini berisi alasan penting
mempelajari filsafat, kemudian fisolosofi matematika dan matematika model.
Selanjutnya pada pembahasan dibahas mengenai aliran-aliran perkembangan
matematika, objek-objek matematika dan ontology, epistemology matematika model
serta perkembangan matematika dan matematika model. Pembahasan mendalam
mengenai perkembangan matematika dan matematika model diawali dengan penjelasan
konsep kalkulus atau limit neizbi, matematika formal Hilbert, kemudian
munculnya teorema ketidaklengkapan Godel. Selanjutnya adalah Tarski's
Undefinability Theorem dan penyelesaian Entscheidungsproblem oleh Alan Turing,
dimana masalah pada Entscheidungsproblem yang awalnya diungkapkan oleh Hilbert
akhirnya dapat diselesaikan oleh Alan Turing. Tulisan ini diakhiri dengan
penjelasan mengenai Mathematics Nonstandart dan Transformasi.
Pendahuluan
Pernahkah
kita bertanya dalam hati, mengapa manusia hidup, mengapa saya hidup, untuk apa
saya hidup. Ketika pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan sedangkan kita
sebagai manusia menjadi semakin sulit menemukan jawabannya secara logika
kemudian akan berakhir pada ‘Kuasa Tuhan’ disitulah saya rasa kita harus
belajar filsafat. Belajar filsafat bagi saya bukan tentang sebuah mata kuliah,
melainkan tentang aktivitas berpikir, bertanya kemudian mulai menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar itu secara rasional, kritis, dan sistematis.
Ketika
kita belajar filsafat ilmu, kita akan mengenal para filsuf besar seperti Plato,
Immanuel Kant, Descartes, Socrates dan Aristoteles. Pemikiran mereka telah
mampu membentuk dunia seperti yang telah kita pahami sekarang ini. Hal ini
menunjukkan bahwa filsafat adalah sesuatu yang penting untuk kita pelajari.
Pemikiran para filsuf membantu kita melihat keterkaitan suatu bidang dengan
bidang yang lain. Filsafat berguna untuk memperluas wawasan kita tentang ilmu.
Bagi dunia keilmuan, filsafat berguna untuk bersikap kritis terhadap
asumsi-asumsi dasar yang biasa digunakan saja tanpa dipertanyakan. Sebab, kita
akan terus diajak untuk bertanya. Bertanya tentang apa saja. Mengapa sesuatu
itu ada. Benarkah ia ada. Jika ada, mana buktinya. Yakinkah ia benar. Jika
benar, bermanfaatkah, begitu seterusnya dan dalam hal apapun.
Belajar
filsafat membuat kemampuan reflektif kita meningkat. Segala hal akan
dipertanyakan, termasuk jawaban atas pertanyaan kitapun akan dipertanyakan.
Pemikiran para filsuf dan pengetahuan yang kita miliki bisa menjawab pertanyaan
dasar yang kita ajukan, namun kemudian semakin kita mencari bisa jadi akan ada
pemikiran filsuf lain yang bisa mendebat jawaban kita. Dalam dunia filsafat,
bagi saya tidak ada yang “selesai”, namun meski demikian hal ini tidak membuat
kita berhenti mencari, justru pemahaman kita akan semakin kaya, semakin
kompleks, dan semakin luas.
Mendalami
filsafat ilmu, berarti membaca isi kepala para filsuf-filsuf besar. Sedangkan,
pemikiran-pemikiran para filsuf pada umumnya bersifat hipotesis saja. Hal ini
dikarenakan perbedaan pandangan antara filsuf yang satu dengan filsuf yang
lainnya. Pembuktian yang mereka berikan akan selalu muncul perdebatan dengan
argumentasi yang lebih mendalam. Pada akhirnya, tidak ada satu pemikiran
filsufpun yang mutlak benar dan mutlak salah. Kebenaran dalam filsafat tidak
memiliki patokan khusus, selain akal sehat dan pengalaman konkret
masing-masing. Maka dalam filsafat kebenaran adalah batas penalaran kita. Batas
yang berkembang tak terbatas. Batas yang memaksa kita menekuni
penalaran-penalaran panjang dan mendalam tanpa batas.
Pembahasan
A.
Filosofi Matematika secara umum
Filsafat
matematika adalah cabang filsafat yang mengkaji, merenungkan dan menjelaskan
segala sesuatu tentang matematika, sehingga dapat memberikan rekaman sifat,
metodologi dalam matematika serta memahami kedudukan matematika dalam kehidupan
manusia. Pendekatan epistemologinya adalah dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan di bidang apapun, diwakili oleh
satu set proposisi bersama dengan satu prosedur untuk memverifikasinya atau
memberikan pembenaran atas pernyataan-pernyataannya (Asy’arie. 2016).
Hal
inilah yang menyebabkan pengetahuan matematika terdiri dari proposisi beserta
pembuktiannya. Sederhananya, filsafat matematika merupakan penyedia dasar kepastian pengetahuan
matematika. Kebenaran matematika merupakan asumsi yang mendasari doktrin fungsi
filsafat matematika. Pondasi tersebut terikat pada pandangan absolutis
matematika. Dalam hal ini, pembenaran menjadi pandangan utama filsafat
matematika.
B.
Aliran-aliran dalam Pengembangan
Matematika
Ada 3 aliran besar
mempengaruhi perkembangan matematika, termasuk perkembangan pendidikan
matematika, yakni:
1.
Aliran Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika
sebagai bagian dari logika. Penganutnya antara lain G. Leibniz, G. Frege
(1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R. Carnap (1931). Logisme
dipelopori oleh filsuf Inggris bernama Bertrand Arthur William Russell. Pernyataan
penting yang dikemukakannya adalah bahwa semua konsep matematika secara mutlak
dapat disederhanakan pada konsep logika dan semua kebenaran matematika dapat
dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika
semata. Dengan demikian logika dan matematika merupakan bidang yang sama karena
seluruh konsep dan dalil matematika dapat diturunkan dari logika. Betran
merumuskan dua tuntutan logisisme secara jelas dan eksplisit yaitu:
1. Semua
konsep matematika pada akhirnya dapat dikurangi pada konsep logika, asal saja
ini diambil untuk memasukkan konsep dari kumpulan teori atau beberapa kekuatan
yang serupa, seperti jenis teori Russel.
2. Semua
kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma-aksioma dan aturan-aturan
yang terkait dengan logika itu sendiri.
Jika
semua matematika dapat diekspresikan dalam teorema logika murni dan dibuktikan
dari prinsip-prinsip logika sendiri maka kepastian dari ilmu matematika dapat
dikurangi untuk dan dari logika itu. Logika disadari untuk menyediakan sebuah
dasar yang pasti atas kebenaran, sebagian dari ambisi yang berlebihan mencoba
untuk menyampaikan logika, seperti hokum Frege yang kelima. Dengan demikian
jika membantu, program logika akan menyediakan dasar logika yang pasti untuk
pengetahuan matematika, melahirkan kembali kepastian yang mutlak dalam
matematika.
Menurut
Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:
a. Bahwa
pernyataan matematika sebagai implikasi pernyataan sebelumnya, dengan demikian
kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa menyatakan
benar atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua kebenaran
matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
b. Teorema
Ketidaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk
mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang
sukses mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuk menurunkan
semua kebenaran matematika.
c. Kepastian
dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan tidak
dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan
merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu
dasar tertentu untuk pengetahuan matematika.
2.
Aliran Formalisme
Dalam
aliran formalisme, sifat alami dari matematika adalah sistem lambang yang
formal, bertalian dengan sifat–sifat struktural dari simbol–simbol dan proses
pengolahan terhadap lambang–lambang itu. Simbol–simbol dianggap mewakili
berbagai sasaran yang menjadi obyek matematika. Bilangan–bilangan misalnya
dipandang sebagai sifat–sifat struktural yang paling sederhana dari
benda–benda. Jejak filosofi formalis matematika dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan Uskup Berkeley. Landasan matematika formalism dipelopori oleh
ahli matematika besar dari Jerman David Hilbert. Program formalis Hilbert
bertujuan untuk menerjemahkan matematika ke dalam sistem formal. Artinya, dalam lingkup terbatas tetapi sangat
mengarah pada sistem formal yang menunjukkan sifat matematika, dengan
menurunkan mitra resmi dari semua kebenaran matematika melalui bukti
konsistensi.
Menurut
Ernest (1991) aliran formalisme memiliki dua dua tesis, yaitu :
A. Matematika
dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan sebarangan,
kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
B. Keamanan
dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari
ketidakkonsistenan.
Berdasarkan landasan pemikiran itu seorang
pendukung aliran formalism merumuskan matematika sebagai ilmu tentang sistem –
sistem formal. Beberapa ahli tidak menerima konsep aliran formalisme ini.
Keberatan bermula ketika Godel membuktikan bahwa tidak mungkin bisa membuat
sistem yang lengkap dan konsisten dalam dirinya sendiri. Pernyataan ini dikenal
dengan Teorema Ketidaklengkapan Godel (Godel’s Incompleteness Theorem).
Ketidaklengkapan Teorema Kurt Godel (Godel, 1931) menunjukkan syarat yang tidak
bisa dipenuhi. Teorema pertamanya menunjukkan bahwa bahkan tidak semua
kebenaran dari aritmatika dapat diturunkan dari aksioma Peano (atau setiap
aksioma set yang rekursif lebih besar).
![]() |
Teorema ketidaklengkapan kedua menunjukkan
bahwa dalam kasus konsistensi pembuktian memerlukan meta-matematika. Jadi,
tidak semua kebenaran matematika dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam
sistem formal dan sistem itu sendiri tidak dapat dijamin kebenarannya.
3.
Aliran Konstruktivisme
Dalam aliran konstruktivisme, salah satu
programnya adalah merekonstruksi pengetahuan matematika dan memperbaiki praktik
matematis untuk menjaganya dari kehilangan makna, dan dari kontradiksi.
Konstruktivisme pada filsafat matematika dapat ditelusuri kembali oleh Kant dan
Kronecker (Korner,1960). Untuk tujuan ini, konstruktivis menolak pendapat non
konstruktif seperti pembuktian Cantor terhadap bilangan real tak terhingga dan
hukum logika. Para Konstruktivis yang terkenal adalah intuisionis L.E.J browner
(1913) dan A. Heyting (1931, 1956). Baru-baru ini ahli matematika E. Bishop
(1967) telah melakukan program konstruktivis dengan merekonstruksi sebagian
besar analisis secara konstruktif. Berbagai bentuk konstruktivisme masih
berkembang saat ini, seperti dalam karya intuisionis filosofis M.Dummet
(1963-1977). Konstruktivisme mencakup berbagai pandangan yang berbeda, dari
ultra intuisionis (A.Yessenin-Volpin), melalui apa yang disebut intuisionis
filosofis sempurna (L.E.J. Brouwer), intuisionis menengah (A. Heyting dan H.
Weyl), intuisionis logika modern (A. Troelstra) dan sampai pada konstruktivis
Liberal yakni dari P. Lorenzen, E. Bishop, G. Kreisel dan P. Martin-Lof. Ahli
matematika beranggapan bahwa matematika klasik tidak cukup kuat, dan perlu
dibangun kembali melalui metode konstruktif dan penalaran.
Kontruktivis mengklaim bahwa kebenaran
matematika dan keberadaan objek matematika harus ditetapkan melalui metode
konstruktif. Ini berarti bahwa konstruksi matematika dibutuhkan untuk
mendirikan kebenaran atau keberadaan, dibandingkan dengan mengandalkan bukti
yang kontradiksi. Bagi para kontruktivis, pengetahuan harus dibangun melalui
bukti-bukti konstruktif, berdasarkan logika kontruktivis terbatas, dan makna
istilah/objek matematis memuat prosedur formal sebagaimana mereka dikonstruk.
Meskipun beberapa kontruktivis mempertahankan bahwa matematika adalah studi
tentang proses konstruktif yang dilakukan dengan menggunakan pensil dan kertas,
pandangan kuat intusionis, dipimpin oleh Brouwer, matematika menempati tempat
utama dalam pikiran dan matematika tertulis menempati tempat kedua.
Salah satu konsekuensi, Brouwer menganggap
semua aksiomatisasi logika intuisi tidak lengkap, sehingga dianggap tidak
pernah memiliki bentuk akhir. Intuisionisme menggambarkan filosofi
konstruktivis paling lengkap dalam matematika. Dua klaim dipisahkan dari
intuisionisme sebagaimana diistilahkan oleh Dummett: tesis positif dan negatif.
Tesis positif menyatakan bahwa cara intuisionik untuk mengkonstruksi gagasan
matematis dan operasi logis adalah koheren dan masuk akal, matematika
intuisionik membentuk teori yang jelas, sementara tesis negatif menyatakan
bahwa cara klasik untuk mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis
adalah tidak koheren dan tidak masuk akal, matematika klasik memiliki bentuk
yang menyimpang dan banyak yang tidak jelas. Namun, para konstruktivis belum
menunjukkan bahwa ada masalah yang tak terhindarkan untuk menghadapi matematika
klasik meskipun tidak koheren dan tidak valid. Memang matematika klasik murni
dan terapan telah hilang sejak program konstruktivis diusulkan.
Masalah lain dari pandangan
konstruktivisme adalah beberapa hal tidak konsisten dengan matematika klasikal,
misalnya, rangkaian bilangan real seperti yang didefenisikan oleh intuisionis
dapat dihitung. Ini bertentangan dengan hasil klasik bukan karena ada
kontradiksi yang sudah menjadi sifat, tetapi karena defenisi bilangan real
berbeda. Gagasan konstruktivisme memiliki arti yang berbeda dari gagasan
klasik. Dari perspektif epistemology baik tesis positif dan negatif dari
intuisionime memiliki kekurangan. Intuisionis memberikan landasan tertentu
untuk kebenaran matematika dengan menurunkannya dari aksioma intuisi tertentu
menggunakan metode pembuktian intuitif. Pandangan ini mendasarkan pengetahuan
matematika secara eksklusif pada keyakinan subjektif. Namun, kepercayaan
absolut tidak dapat didasarkan pada keyakinan subjektif saja. Juga ada jaminan
bahwa intuisi intuisionis yang berbeda tentang kebenaran dasar akan serupa,
akan tetapi ini tentu saja tidak ada.
C.
Objek-objek Matematika
Plato
(427-349 SM) merupakan seorang realis, dia mempercayai bahwa realitas itu ada
dan tidak terikat pikiran manusia. Suatu sistem dikatakan benar jika suatu
pernytaaan menjelaskan keadaan sesungguhnya dari realitas yang terbebas dari
pikiran. Pernyataan Plato yang terkenal adalah “ Sesuatu adalah saya
sebagaimana hal itu terjadi pada saya, dan sesuatu itu adalah kamu sebagaimana
hal itu terjadi pada kamu.
Plato
meyakini bahwa benda-benda di alam semesta terbagi ke dalam dua kelas, yaitu
yang berbentuk materi dan non materi. Benda-benda seperti matahari, pohon, binatang berbentuk materi, sementara kebaikan,
keburukan, jiwa seorang manusia termasuk kaategori non materi. Suatu gambar empat
persegi panjang termasuk kategori materi, tetapi persegi panjang itu sendiri
termasuk ke dalam kategori non materi.
Aristoteles
(384-322 SM) seorang murid dari Plato selama dua puluh tahun, tetapi ia sendiri
tidak setuju dengan Plato mengenai hakekat matematika. Bagi dia kata “ dua”
bukan suatu kata benda untuk suatu obyek abstrak yang bebas dari obyek fisik,
tetapi suatu keterangan merumuskan suatu obyek fisik, misal panjangnya dua
meter (Anglin, 1994). Obyek-obyek matematika dibedakan menjadi dua yaitu obyek
formal dan obyek material.
1.
Obyek Formal
Obyek
formal (Malawi, 2005) adalah
menyelidiki
segala sesuatu itu guna mengerti sedalam dalamnya, atau mengerti obyek materia
itu secara hakiki, mengerti kodrat segala sesuatu itu secara mendalam (to know
the nature of everything).
Secara formal (Marsigit, 2009), obyek matematika berupa benda-benda pikir.
Benda-benda pikir diperoleh dari benda konkrit dengan melakukan “abstraksi” dan
“idealisasi”. Idealisasi (Pincock, 2007)
matematika adalah representasi ilmiah, yang diyakini salah, dan di mana
matematika memainkan peran penting. Idealisasi
(Marsigit, 2009) adalah kegiatan menganggap sempurna sifat-sifat yang ada. Abstraksi
matematika
(Wikipedia) adalah proses mengekstraksi esensi yang mendasari konsep matematika,
menghilangkan segala ketergantungan pada objek dunia nyata yang dengannya
semula mungkin telah terhubung, dan menggeneralisasikannya sehingga memiliki penerapan yang lebih luas atau menyamakan antara deskripsi abstrak lainnya dari fenomena
yang setara. Abstraksi (Marsigit, 2009) adalah kegiatan di mana
hanya mengambil sifat-sifat tertentu saja untuk dipikirkan atau dipelajari.
2.
Obyek Material
Obyek
material (Malawi, 2005)
yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materi konkret, psisik,
maupun yang material abstrak, psikis. Secara material (Marsigit, 2009), obyek matematika dapat berupa
benda-benda kongkrit, gambar atau model kubus, berwarna-warni lambang bilangan
besar atau kecil, kolam berbentuk persegi, atap rumah berbentuk limas,
piramida-piramida di Mesir, kuda-kuda atap rumah berbentuk segitiga siku-siku,
roda berbentuk lingkaran, dst.
D.
Ontology dan Epistemologi
Matematika Model
1.
Ontology
Matematika Model
Asmal
Bakhtiar (2005 : 134) mengartikan ontologi sebagai sebuah ilmu yang membahas
mengenai hakikat yang ada. Dalam ilmu filsafat sebuah ada tidak diadakan oleh
dirinya sendiri, tetapi oleh ada lainnya (situasi maupun pihak lain), sebagai
penyebab ada (causa prima) (Watloly, 2013:28). Sementara itu
menurut Marsigit (2015 : 95) ontologi matematika berusaha memahami keseluruhan
dan kenyataan matematika, yaitu segala matematika yang mengada. Dalam kaitannya
dengan matematika, pendekatan ontologis matematika adalah dengan mencari
pengertian menurut akar dan dasar terdalam dari kenyataan matematika.
Pendekatan ontologis digunakan untuk menerima kenyataan dalam matematika.
Pendekatan ini berusaha untuk mengkaji bagaimana mencari inti dari setiap
kenyataan yang ditemukan terkait matematika, membahas apa yang kita ingin
ketahui tentang matematika, seberapa jauh kita ingin tahu, serta menyelidiki
sifat dasar dari apa yang ada secara fundamental.
Contoh
dari ontologi matematika adalah kajian mengenai pernyataan apakah benda-benda
geometri pada dimensi tinggi itu hanya tergantung pada pemikiran manusia? Pembahasan-pembahasan
ini menggunakan prinsip ontology matematika dimana hal ini lebih mengkaji
tentang objek abstrak dalam matematika.
2.
Epistemologi
Matematika Model
Abbas
Hammami Mintarejo (Surajiyo, 2008: 25) berpendapat bahwa epistemologi adalah
bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang
telah terjadi itu. Sementara itu, menurut Aholiab Watloly (2013:34),
epistemologi diartikan sebagai pengetahuan atau teori tentang pengetahuan
dengan mengandalkan adanya sumber-sumber pengetahuan, struktur logis (nalar),
jangkauan, metode atau cara kerja, serta nilai dan tanggung jawab dalam
mengerjakan pengetahuan.
Dalam
kaitannya dengan matematika, epistemologi memandang matematika sebagai sebuah
ilmu pengetahuan yang objek kajiannya merupakan ide yang terdapat dalam pikiran
manusia yang sifatnya abstrak. Menurut Immanuel Kant awal dari pengetahuan
matematika adalah kesadaran tentang matematika. Kesadaran demikian dianggap
sebagai wadah dari kenyataan matematika (Marsigit, 2015 : 131). Pengetahuan
matematika juga berkaitan dengan akal budi dan pengalaman yang ada di dalam
diri kita. Di satu sisi akal budi yang yang murni akan menghasilkan kesadaran
tentang kenyataan matematika yaitu sebagai kenyataan yang bersifat a priori
namun di sisi yang lain kita memerlukan eviden yang berasal dari pengalaman
manusia yang menghasilkan kenyataan matematika sebagai kenyataan sintetik.
Contohnya
saat ini kita telah mengenal berbagai teorema dalam matematika (misalnya
teorema Phytagoras), teorema teorema tersebut ada dalam pikiran kita
dikarenakan karena adanya pengalaman dan kesadaran kita terhadapnya.
E.
Perkembangan Matematika dan Matematika Model
Pada awal perkembangannya, matematika merupakan kajian sistematis tentang bentuk (shape) dan
gerakan objek fisis dalam kehidupan sehari-hari (berhubungan erat terutama
dengan fisika). Kajian dilakukan dengan mengeksplorasi konsep-konsep kuantitas,
struktur, ruang, dan perubahan, yang
tentu saja berdasarkan penggunaan logika penalaran manusia (Djati, 2015)

Eksplorasi yang dilakukan berlandaskan : (i) Abstraksi dan
simbolisasi, (ii) Penetapan aksioma, definisi (iii) Formulasi konjektur
(‘dugaan’), (iv) Deduksi secara taat azas (‘rigorous’) berdasarkan
penalaran untuk menyatakan kebenaran dugaan, serta (v) membangun teorema.
Kajian dengan tujuan
mengembangan pengetahuan matematika secara internal (pengembangan konjektur,
teorema, pendekatan altenatif) sering
dikategorikan sebagai kajian matematika
murni (pure mathematics). Sedangkan kajian dalam arah eksternal
yang melibatkan bidang pengetahuan (atau keilmuan lain) dikategorikan sebagai
kajian matematika terapan (applied mathematics). Pengembangan ekternal
ini meliputi kajian model matematis, metode matematis (dibangun berdasarkan
teorema-teorema) yang sesuai, serta metode komputasinya.
1.
Konsep Kalkulus atau Limit Leibniz
Leibniz
adalah yang pertama kali menggunakan tanda integral modern, menggunakan huruf S
yang diambil dari kata Latin summa seperti
dan
. Dalam makalahnya ia memperkenalkan dx sebagai interval terhingga
sebarang dan kemudian mendefinisikan dy melalui proporsi dy : dx = y :
subtangen. Berbagai tauran diferensial yang elementer yang kemudian dipelajari
oleh siswa diturunkan oleh Libniz.
Aturan untuk menemukan turunan ke n dari perkalian fungsi yang dikenal dengan Aturan Leibniz ( Eves,
1964).
Leibniz berpendapat bahwa dy dan dx pada dy/dx
sebagai besaran decimal yang tak berhingga (infinesimal). Jadi dx adalah suatu
inkremen yang tidak nol tetapi kecil sekali dalam x dan mendefinisikan dy = f(x
+ dx) – f(x) dan biasanya tidak sama dengan nol. Sebagai contoh, jika
maka
. Ini merepresentasikan
„rise‟ pada fungsi f yang berkorespondensi dengan „run‟ dari dx. Kemiringan dari garis singgung pada x adalah
, dan karena
dx menuju nol maka kemiringan garis singgung tersebut adalah 2x (Anglin, 1994).
2.
Matematika Formal Hillbert
David Hilbert (1642 –1943) (Marsigit,
2012) berpendapat bahwa matematika adalah tidak lebih atau tidak kurang sebagai
bahasa matematika. Contohnya adalah bilangan lima yang memiliki beberapa simbol
seperti 5 atau V. Istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna
(Anglin dalam Marsigit, 2012). Formalis memandang matematika sebagai suatu
permainan formal yang tak bermakna (meaningless)
dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti aturan (Ernest dalam Marsigit,
2012). Ernest (Marsigit, 2012) menjelaskan bawa formalis memiliki dua dua
tesis, 1. Matematika sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan secara
asal-asalan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal; 2.
Sistem formal ini terbebas dari ketidakkonsistenan.
Dalam bukunya Grundlagen der Geometrίe
(1899), Hilbert (Marsigit, 2010) mempertajam metode matematika dari materi
aksiomatik Euclid kepada aksiomatik formal seperti saat ini. Metode ini
dikembangkan Hilbert sebagai respon terhadap kritik intuisionis terhadap
paradoks teori himpunan. Tesis formalis adalah bahwa Matematika menitikberatkan
kepada sistem formal simbolik. Hingga pada akhirnya Matematika menjadi
sekumpulan pengembangan yang abstrak dimana istilah-istilahnya hanyalah simbol
dan pernyataan yang melibatkan simbol saja. Landasan utama dari Matematika
tidak lagi terletak pada logika namun pada sekumpulan nilai pralogika atau
simbol dan sekumpulan operasi yang melibatkan simbol-simbol tersebut. Dalam
sistem formal, segalanya mengalami reduksi menjadi aturan dan forma (Marsigit,
2010). Matematika mengalami pergeseran dari konten konkrit kepada konten yang
hanya memuat unsur-unsur simbolik ideal. Penyusunan konsistensi dari beragam
cabang Matematika menjadi penting dalam Matematika formal. Karena tanpa
pembuktian yang konsisten, seluruh Matematiak formal menjadi tidak dapat
dijangkau (Marsigit, 2010).
David Hilbert (Marsigit, 2012) merumuskan
suatu sistem aksioma dan aturan inferensi yang akan mencakup semua matematika,
dari dasar aritmatika hingga mahir kalkulus; impiannya adalah menyusun metode
penalaran matematika dan menempatkan mereka dalam kerangka tunggal. Hilbert
menegaskan bahwa suatu sistem formal dari aksioma dan aturan harus konsisten,
yang berarti bahwa seseorang tidak dapat membuktikan sebuah pernyataan dan
kebalikannya pada saat yang sama, ia juga menginginkan skema yang lengkap,
artinya satu selalu dapat membuktikan pernyataan yang diberikan bisa benar atau
salah. Hilbert berpendapat bahwa harus ada prosedur yang jelas untuk memutuskan
apakah suatu proposisi tertentu berikut dari himpunan aksioma, dengan itu,
diberikan sebuah sistem yang jelas dari aksioma dan aturan inferensi yang
tepat, akan lebih mungkin, meskipun tidak benar-benar praktis, untuk
menjalankan melalui semua proposisi mungkin, dimulai dengan urutan terpendek
simbol, dan untuk memeriksa mana yang valid. Pada prinsipnya, suatu prosedur
keputusan secara otomatis akan menghasilkan semua teorema mungkin dalam
matematika.
Di sisi lain, Hilbert (Marsigit, 2012)
menjelaskan bahwa matematika formal didasarkan pada logika formal; mengurangi
hubungan matematis untuk pertanyaan keanggotaan himpunan; objek primitif hanya
terdefinisi dalam matematika formal adalah himpunan kosong yang berisi apa-apa.
Ada klaim bahwa hampir setiap abstraksi matematika yang pernah diselidiki dapat
diturunkan sebagai seperangkat aksioma teori himpunan dan hampir setiap bukti
matematis yang pernah dibangun dapat dibuat dengan asumsi tidak ada di luar
yang aksioma. Itu juga menyatakan bahwa jika tak terhingga merupakan potensi
dan tidak pernah menjadi kenyataan selesai maka himpunan terbatas tidak ada,
karena itu, ahli matematika mencoba untuk mendefinisikan struktur tak terbatas
yang paling umum dibayangkan karena itu tampaknya memberikan harapan paling
baik, jika himpunan tidak terbatas ada maka akan menjadi landasan matematika
yang kokoh. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa matematika harus langsung
terhubung ke sifat program non-deterministic di alam semesta yang potensial
tidak terbatas, hal ini akan membatasi ekstensi untuk sebuah himpunan bilangan
ordinal dan himpunan yang dapat dibangun dari mereka. Obyek didefinisikan dalam
suatu sistem matematis yang formal tidak peduli apakah aksioma tak terhingga
itu termasuk yang dimasukkan, dan bahwa sistem formal dapat diartikan sebagai
suatu program komputer untuk menghasilkan teorema di mana program tersebut
dapat menghasilkan semua nama-nama benda atau himpunan yang didefinisikan dalam
sistem tersebut. Selanjutnya, semua bilangan kardinal yang lebih besar yang
pernah didefinisikan dalam sistem matematika yang terbatas, tidak akan dihitung
dari dalam sistem tersebut.

3.
Teorema Godel dan Bilangan Godel
Menurut Marsigit (2012) Gödel showed Hilbert's Program can not succeed. This was proven in what
is now called Gödel's Incompleteness Theorem:Let S be a formal system for
number theory. If S is consistent, then there is a sentence, G, such that
neither G nor the negation of G (written G) is a theorem of S. Thus, any formal
system sufficient to express the theorems of number theory has to be
incomplete. Proof:S can prove P(n) just in case n is the Gödel-number of a
theorem of S. There exists k, such that k is a Gödel-number of the formula
P(k)=G. This statement says of itself, it is not provable. Even if we define a
new formal system S = S + G (thus including the undecidable theorem as an
axiom), we can find G which isn't provable in (is independent of) S. The
reasoning Gödel used for his incompleteness theorem is finitary, so it could be
formalized inside S. Thus, S can prove that if S is consistent, then G is not
provable. Note that the underlined phrase is what G says, so S proves
Cst(S) implies G is true, but G says G is not provable. Suppose S
can prove Cst(S), then S can prove G, but if S is consistent, it can't prove G,
thus it can't prove its consistency. Thus, Hilbert's Program does not work; one
cannot prove the consistency of a mathematical theory.
Hilbert berpendapat bahwa pembuktiannya memperkuat
posisi epistemologis dari foundationalism, namun pada tahun 1931 Kurt Godel,
seorang jenius muda matematika membuktikan kesalahan pernyataan Hilbert. Godel
berhasil membuktikan adanya pernyataan yang tidak dapat dibuktikan benar
ataupun salah bahkan dalam sistem formal yang sufficiently
rich. Godel membuktikan kesalahan Hilbert, dan dengan demikian telah
meledakkan bom di dalam matematika itu sendiri. Dia membuat orang sadar
bahwa matematika pun tak dapat membuktikan dirinya sendiri sebagai sistem yang dapat
menjamin konsistensi dan mendeteksi adanya inkonsistensi dari dalam sistem
itu sendiri. Teorema Godel ini secara singkat menyatakan bahwa dalam sebuah
sistem formal aritmetika S, akan ada kalimat P dalam bahasa S sedemikian rupa
sehingga (jika S konsisten) baik P maupun negasinya tidak akan dapat dibuktikan
di dalam S. Jika Godel benar, maka foundationalism tidak lagi dapat
menyandarkan jaminan Epistemologisnya pada kepastian matematika, karena
formalisme matematika itu sendiri telah terbukti gagal dalam menjamin
konsistensi dirinya. S dapat membuktikan P (n) hanya dalam kasus n adalah nomor
Gödel dari teorema S. Ada k, sehingga k adalah Gödel-nomor dari rumus P (k) =
G. Pernyataan ini berkata tentang dirinya sendiri, itu tidak dapat dibuktikan.
Bahkan jika kita mendefinisikan sistem formal baru S = S + G (dengan demikian
termasuk teorema yang tidak dapat diputuskan sebagai aksioma), kita dapat
menemukan G yang tidak dapat dibuktikan (tidak tergantung) S. Alasan Gödel
digunakan untuk teorema ketidaklengkapannya adalah finitary, sehingga bisa
diformalkan di dalam S. Jadi, S dapat membuktikan bahwa jika S konsisten, maka
G tidak dapat dibuktikan. Perhatikan bahwa frasa yang digarisbawahi adalah apa
yang dikatakan G, jadi S membuktikan Cst (S) menyiratkan G adalah benar, tetapi
G mengatakan G tidak dapat dibuktikan. Misalkan S dapat membuktikan Cst (S),
maka S dapat membuktikan G, tetapi jika S konsisten, itu tidak dapat
membuktikan G, sehingga tidak dapat membuktikan konsistensinya. Jadi, Program
Hilbert tidak berfungsi; seseorang tidak dapat membuktikan konsistensi teori
matematika.
Teorema
ketaklengkapan Gödel (bahasa Inggris: Gödel's incompleteness theorems) adalah dua teorema logika matematika yang
menetapkan batasan (limitation) inheren dari semua kecuali sistem aksiomatik yang
paling trivial yang mampu mengerjakan aritmetika.
Teorema-teorema ini, dibuktikan oleh Kurt
Gödel pada tahun 1931, penting baik dalam logika
matematika maupun dalam filsafat matematika. Kedua hasil
ini secara luas, tetapi tidak secara universal, ditafsirkan telah menunjukkan
bahwa program Hilbert untuk
menghitung himpunan lengkap dan konsisten dari aksioma-aksioma bagi
semua matematika adalah tidak mungkin,
sehingga memberikan jawaban negatif terhadap soal Hilbert yang kedua
(Wikipedia).
Teori ketidaklengkapan pertama: Setiap teori yang dihasilkan
secara efektif yang mampu menyatakan aritmetika elementer tidak dapat
sama-sama konsisten dan lengkap atau komplet.
Khususnya, untuk setiap teori formal yang secara efektif
dihasilkan dan yang konsisten, yang membuktikan kebenaran aritmetika dasar
tertentu, ada suatu pernyataan aritmetika yang benar, tetapi tidak dapat dibuktikan dalam teori ini (Kleene 1967: 250)
Teorema ketidaklengkapan kedua: Untuk setiap teori T yang
dihasilkan formal secara efektif memuat kebenaran aritmetika dasar dan juga
kebenaran tertentuk mengenai provabilitas formal, jika T memuat
suatu pernyataan mengenai konsistensinya sendiri,maka T inkonsisten.
Bilangan Godel. Gödel numbering is a function that
assigns to each symbol and well-formed
formula of some formal
language a unique natural
number, called its Gödel number. The concept was used by Kurt Gödel for
the proof of his incompleteness theorems. Godel number dan ditentukan oleh berikut ini:
(G1) Godel
number dari atoms A, B, C, ...
masing-masing,
(G2)
Pengenalan Godel
number memungkinkan kita untuk
menyatakan sebagai berikut varian aritmatika dengan ketentuan (F3") dalam
bagian 1:Angka natural g adalah Godel number dari formula implikasi logika murni jika dan
hanya jika ada urutan bilangan terbatas gl, g2, ..., gk
seperti itu, untuk setiap j (1 <j
<k), lebih baik adalah angka natural h
sehingga gj = ke 7 atau dapat ditemukan bilangan natural m dan n (l<m, n <j) sehingga gj =
, sedangkan gk = g.
4.
Tarski's Undefinability Theorem
Salah
satu karya yang paling terkenal dari Tarski adalah logika dalam bidang matematika. Ia menciptakan teori-model,
pengertian-kebenaran, definisi-terhingga Taski, bilangan kardinal terukur dan
bilangan kardinal tak terpakai, dan masalah kepastian aljabar elementer serta
logika analitik. Ia seorang penganut paham neo-positivisme
(Wikipedia). Tarski (dalam Guerrier,
2008) dalam tulisannya yang berjudul “The concept of truth in languages of
deductive sciences” menunjukkan bahwa tujuannya adalah menyusun definisi dari
proposisi kebenaran yang memadai secara materi dan tepat secara formal. Proyek
Tarski adalah menjembatani secara nyata antara sistem formal dan realita. Pada
tahun 1944 dia mengemukakan kembali konsep kebenaran klasik milik Aristoteles
dalam bahasa yang modern melalui definisi berikut: ‘the truth of a proposition lies in its agreement (or correspondence)
with reality; or a proposition is true if it designates an existent state of
things.’’
Kebenaran
proposisi terletak pada kesepakatan (atau korespondensi) dengan realita, atau
suatu proposisi bernilai benar jika ia membentuk status keberadaan sesuatu.
Untuk mengelaborasi konstruksi rekursif dari kebenaran suatu proposisi, Tarski
mengenalkan konsep yang lebih umum tentang ‘‘satisfaction of a propositional
function (a predicate) by such or such objects, kesesuaian fungsi proposisi
objek’’ kepada fakta bahwa ‘‘complex propositions are not aggregates of
propositions, but obtained from propositional functions. Proposisi kompleks
tidak beragregasi, tetapi diperoleh dari fungsi proposisi’’ Definisi ini
menegaskan fakta bahwa status kebenaran dari sebuah fungsi proposisi mesti
berlaku di dunia realita.
Hal
ini memungkinkan bagi kita untuk mengonstruk kriteria kesesuaian suatu formula
yang kompleks terhadap predikat kalkulus pada struktur manapun secara rekursif
dengan menggunakan intepretasi terhadap tiap huruf pada formula. Sehingga dapat
didefinisikan ungkapan tentang “model for a formula”, yang mengatur suatu
struktur interpretasi dari suatu formula yang memenuhi setiap rangkaian objek
yang relevan.
Hal
ini menjadi jalan bagi Tarski dalam mendefinisikan notion yang fundamental
tentang “konsekuensi logis dalam sudut pandang semantik”: suatu formula G
menyesuaikan dari suatu formula F secara logis
jika dan hanya jika setiap model dari F merupakan model bagi G. Hal ini
bermakna bahwa formula “
adalah benar untuk setiap intepretasi terhadap
F dan G pada setiap struktur tak kosong. Contohnya, dalam konteks semantik,
“Q(x)” merupakan konsekuensi logis dari “
Perhatikan bahwa ini merupakan ekstensi dari
hasil korespondensi yang dihasilkan oleh Wittgenstein, dalam pemahaman bahwa
“Q(x)” dan “
bukan merupakan variabel proposisi, tapi
fungsi proposisi. Sehingga tidak mungkin untuk menggunakan tabel kebenaran
secara langsung.
Model
pendekatan teoritik dikembangkan oleh Tarski dalam bukunya Introduction to
logic and to the methodology of the deductive sciences. Diketahui suatu teori
deduktif yang memungkinkan memahami suatu sistem aksiomatik sebagai bahasa
formal dan mengintepretasikan kembali sistem dengan interpretasi yang lain.
Interpretasi dimana suatu aksioma bernilai benar disebut dengan model sistem
aksiomatik. Pendekatan ini (Beth, 1962) menjadikan tak berhingga banyaknya
formula sebagai aksioma, yang diperoleh dari beberapa aksioma tertentu yang
digunakan berulang-ulang pada aturan inferensial. Aksioma-aksioma tersebut
dinamakan tesis. beberapa karakter tesis yang mendasar antara lain, (i)
(ii)
(iii) 
Dari tesis-tesis
tersebut dikembangkan menggunakan skema inferensial dan modus Ponens sehingga
diperoleh berbagai teorema. Misalnya akan dibuktikan bahwa
juga merupakan tesis. Dari karakter aksioma I
maka dapat disusun implikasi berupa (1)
(
.
Sedangkan dari karakter aksioma II dapat disusun implikasi (2)
.
Dari (1) dan (2) dengan skema (iij) maka diperoleh (
Hal
tersebut memberikan beberapa hasil yang penting:
“Semua teorema dibuktikan dari suatu sistem aksiomatik yang
valid untuk setiap interpretasi sistem”
Teorema tersebut
menunjukkan hubungan antara semantik dan sintak sekaligus mengarahkan kita
kepada metode yang penting dalam pembuktian bahwa suatu pernyataaan bukan
merupakan konsekuensi logis dari teori aksioma. Dengan begitu, Tarski telah
memberikan perbedaan yang jelas antara kebenaran dalam suatu interpretasi dan
kebenaran sebagai konsekuensi logis dari suatu sistem aksiomatik dibandingkan
dengan kedua metode sebelumnya, metode aksiomatik memiliki perbedaan yang cuku
jelas.
![]() |
Menurut Brendan, teorema undefinability Tarski menyatakan bahwa tidak ada cara untuk mengekspresikan kebenaran aritmetika dalam logika tingkat pertama. Tujuan dari hal berikut adalah untuk memberikan yang tepat presentasi teorema yang harus dapat diakses oleh siapa saja yang memiliki pengalaman bekerja dengan logika tingkat pertama.
Seseorang
tidak dapat mengatakan bahwa kemajuan dalam meta-mathematics merevolusi Seluruh
bidang matematika "murni", seperti yang diyakini oleh Gödel, harus
dilakukan (Wang, 1988:168) Namun, perjuangan Tarski untuk membuat
metamathematik yang menarik bagi matematikawan berhasil, meskipun tidak segera.
Sebenarnya, cabang matematika baru keluar, yang menggabungkan metode
metamathematical dan matematika, seperti model-teori aljabar, analisis
model-teori, geometri aljabar nyata, aljabar komputer, dll. Cabang-cabang ini
menggunakan banyak metode yang dibentuk oleh Tarski, dan pertama-tama alat yang
berasal dari analisis Tarski tentang pengertian definisi. Memang, mungkin
memang begitu lebih mudah untuk menyatakan sifat matematika dari beberapa objek
dengan menganalisis rumus sintaksis yang melaluinya mereka dapat didefinisikan
alih-alih mendeduksi sifat-sifat ini dengan cara matematika murni. Ini
masalahnya, misalnya, untuk membuktikan bahwa proyeksi set semi-aljabar masih semi-aljabar
(Bochnak, 1987:23). Jika metamathematika tidak merevolusi seluruh bidang
matematika "murni", namun demikian tidak diragukan lagi itu telah
menjadi bagian integral dari matematika standar daripada "murni"
matematikawan diharapkan.
5.
Penyelesaian Entscheidungsproblem oleh Alan
Turing
Dalam
matematika dan ilmu komputer, Entscheidungsproblem (diucapkan [ɛntˈʃaɪ̯dʊŋspʁoˌbleːm],
bahasa Jerman untuk "masalah keputusan") adalah tantangan yang
diajukan oleh David Hilbert dan Wilhelm Ackermann pada tahun 1928 (Hilbert,
1928). Masalahnya meminta algoritma yang mengambil sebagai input pernyataan
logika urutan pertama (mungkin dengan sejumlah aksioma di luar aksioma logika
urutan pertama) dan menjawab "Ya" atau "Tidak" sesuai
dengan apakah pernyataan itu secara universal valid, yaitu, valid dalam setiap
struktur memuaskan aksioma. Dengan teorema kelengkapan logika tingkat pertama,
sebuah pernyataan secara universal valid jika dan hanya jika dapat disimpulkan
dari aksioma, sehingga Entscheidungsproblem juga dapat dilihat sebagai meminta
algoritma untuk memutuskan apakah pernyataan yang diberikan dapat dibuktikan
dari aksioma. menggunakan aturan logika.
Pada
tahun 1936, Alonzo dan Alan Turing menerbitkan makalah independen (Alonzo.
1936) yang menunjukkan bahwa solusi umum untuk Entscheidungsproblem tidak
mungkin, dengan asumsi bahwa gagasan intuitif "dihitung secara
efektif" ditangkap oleh fungsi yang dihitung oleh mesin Turing (atau
setara, oleh yang dapat diungkapkan dalam kalkulus lambda). Asumsi ini sekarang
dikenal sebagai tesis Alonzo-Turing.
Asal
usul Entscheidungsproblem kembali ke Gottfried Leibniz, yang pada abad ketujuh
belas, setelah membangun mesin penghitung mekanis yang sukses, bermimpi
membangun sebuah mesin yang dapat memanipulasi simbol untuk menentukan nilai
kebenaran dari pernyataan matematika (Davis, 1965). Dia menyadari bahwa langkah
pertama harus menjadi bahasa formal yang bersih, dan banyak dari pekerjaan
selanjutnya diarahkan ke tujuan itu. Pada tahun 1928, David Hilbert dan Wilhelm
Ackermann mengajukan pertanyaan dalam bentuk yang diuraikan di atas.
Sebagai
kelanjutan dari "program" -nya, Hilbert mengajukan tiga pertanyaan
pada sebuah konferensi internasional pada tahun 1928, yang ketiga dikenal
sebagai "Hilts's Entscheidungsproblem." yang disiapkan oleh Paul
Bernays sampai tahun 1930, Hilbert percaya bahwa tidak akan ada masalah yang
tidak dapat diselesaikan (Hodges. 1939).
Sebelum
pertanyaan dapat dijawab, gagasan "algoritma" harus didefinisikan
secara formal. Ini dilakukan oleh Alonzo pada tahun 1936 dengan konsep
"kalkulasi efektif" berdasarkan λ-kalkulusnya dan oleh Alan Turing
pada tahun yang sama dengan konsep mesin Turing. Turing segera mengakui bahwa
ini adalah model perhitungan yang setara.
Jawaban
negatif untuk Entscheidungsproblem kemudian diberikan oleh Alonzo pada tahun
1935-1936 dan secara independen segera sesudahnya oleh Alan Turing pada tahun
1936. Gereja membuktikan bahwa tidak ada fungsi yang dapat dihitung yang
memutuskan untuk dua ekspresi λ-kalkulus yang diberikan apakah mereka setara
atau tidak. Dia sangat bergantung pada pekerjaan sebelumnya oleh Stephen
Kleene. Turing mengurangi pertanyaan tentang keberadaan 'metode umum' yang
memutuskan apakah Mesin Turing yang diberikan berhenti atau tidak (masalah
terputus-putus) menjadi pertanyaan tentang keberadaan 'algoritma' atau 'metode
umum' yang dapat menyelesaikan Entscheidungsproblem. Jika 'Algoritma' dipahami
sebagai setara dengan Mesin Turing, dan dengan jawaban untuk pertanyaan
terakhir negatif (secara umum), pertanyaan tentang keberadaan Algoritma untuk Entscheidungsproblem
juga harus negatif (secara umum). Dalam makalahnya tahun 1936, Turing
mengatakan: "Sesuai dengan masing-masing mesin komputasi 'itu' kami
membangun rumus 'Un (itu)' dan kami menunjukkan bahwa, jika ada metode umum
untuk menentukan apakah 'Un (itu)' dapat dibuktikan, lalu ada metode umum untuk
menentukan apakah 'itu' pernah mencetak 0 ".
Karya Alonzo
dan Turing sangat dipengaruhi oleh karya Kurt Gödel sebelumnya tentang teorema
ketidaklengkapannya, terutama dengan metode penetapan angka (penomoran Gödel)
ke rumus logis untuk mengurangi logika ke aritmatika. Entscheidungsproblem
terkait dengan masalah kesepuluh Hilbert, yang meminta algoritma untuk
memutuskan apakah persamaan Diophantine memiliki solusi. Tidak adanya algoritma
semacam itu, yang didirikan oleh Yuri Matiyasevich pada tahun 1970, juga
menyiratkan jawaban negatif terhadap Entscheidungsproblem.
Beberapa
teori orde pertama dapat ditentukan secara algoritmik; contoh dari ini termasuk
aritmatika Presburger, bidang tertutup nyata dan sistem tipe statis dari banyak
bahasa pemrograman. Namun, teori orde pertama umum dari bilangan asli yang
diekspresikan dalam aksioma Peano tidak dapat diputuskan dengan suatu
algoritma.
Memiliki
prosedur keputusan praktis untuk kelas formula logis sangat menarik untuk
verifikasi program dan verifikasi rangkaian. Rumus logis Boolean murni biasanya
diputuskan menggunakan teknik pemecahan SAT berdasarkan pada algoritma DPLL.
Rumus konjungtif atas aritmatika nyata atau rasional linier dapat diputuskan
dengan menggunakan algoritma simpleks, rumus dalam aritmatika integer linier
(aritmatika Presburger) dapat diputuskan menggunakan algoritma Cooper atau uji
Omega William Pugh. Rumus dengan negasi, konjungsi dan disjungsi menggabungkan
kesulitan pengujian kepuasan dengan keputusan konjungsi; mereka umumnya
diputuskan saat ini menggunakan teknik pemecahan SMT yang menggabungkan
pemecahan SAT dengan prosedur keputusan untuk konjungsi dan teknik propagasi.
Aritmatika polinomial nyata, juga dikenal sebagai teori bidang tertutup nyata,
dapat dipilih; ini adalah teorema Tarski-Seidenberg, yang telah
diimplementasikan di komputer dengan menggunakan dekomposisi aljabar silinder.
6.
Munculnya Mathematics Non Standard
Berdasarkan artikel “On the Foundations of Nonstandard Mathematics “ karya Nasso. Fakta
dasar dalam teori model adalah setiap struktur matematika tak hingga memiliki
model yang tidak standar, yaitu struktur non-isomorfik yang memenuhi sifat
dasar yang sama. Dengan kata lain, ada hal yang berbeda namun memiliki struktur
yang sama. Keberadaan model yang tidak standar pertama kali ditunjukkan oleh
Thoralf Skolem, karena terdapat ketertarikan dalam hal ini maka studi tentang
teori model berkembang pesat. Abraham Robinson memiliki gagasan sistematis
merapkan analisis teori model Ery Machin, dengan mempertimbangkan eksistensi
tidak standar dari sistem bilangan real, maka akan mampu menyediakan penggunaan
angka yang sangat kecil secara lebih terinci, sehingga dapat memberikan solusi
untuk masalah yang tidak dapat diselesaikan selama berabad-abad. Eksistensi
tidak standar dari sistem bilangan real disebut angka hiperreal.
Strategi khas dalam analisis tidak standar adalah
sebagai berikut. Asumsikan kita ingin membuktikan (atau menyangkal) beberapa
dugaan P tentang beberapa matematika struktur M. Memformalkan P sebagai
formula urutan pertama φ . Itu bisa terjadi bahwa lebih mudah untuk
memutuskan P di beberapa tidak standar Model *M di mana alat tambahan
tersedia (misalnya, infinitesimals), bukan di model standar M.Setelah
properti P, seperti yang secara resmi diekspresikan oleh rumus φ, telah
terbukti atau dibantah dalam *M, dengan mentransfernya benar (atau salah) dalam
stuktur standar M juga.
Pemodelan tidak standar adalah pemetaan dari Superstruktur
model standar ke superstruktur laun yang disebut model tak standar, yang
memenuhi sifat-sifat berikut:
1.
Prinsip transfer
Untuk setiap rumus dibatasi, properti
yang diekspresikan benar pada model standar jika dan hanya jika benar dalam
model tak standar. Jika dengan kontradiksi memenuhi prinsip transfer untuk
semua formula maka dapat dilanjutkan pada pembuktian yang lainnya.
2.
Properti Saturasi
Saturasi dikenal sebagai kejenuhan,
kejenuhan adalah gagasan model teoritik khas yang biasanya didefinisikan dalam
hal realisasi teori himpunan. Gagasan yang digunakan dalam prinsip saturasi
adalah hubungan kekeluargaan, seberapa “dekat” hubungan sampel yang kita ambil
dengan suatu himpunan tertentu dengan memperhatikan karakteristiknya.
3.
Standarisasi
Terdapat suatu himpunan, jika diambil
sebarang anggota standar dalam himpunan
itu maka hasilnya adalah himpunan standar pula.
4.
Kesimpulan (Idealisasi)
Jika memenuhi ketiga prinsip di atas
maka analisis non standar selesai, sehingga dapat diambil kesimpulanya.
Berikut merupakan contoh analisis non standar dalam
beberapa kasus matematika.
Teori
Himpunan Internal Nelson
Teori himpunan internal disampaikan oleh Edward Nelson pada tahun 1977
makalahnya. Teori himpunan internal adalah sebuah teori elegan diformulasikan
sebagai hasil dari posisi filosofis yang tepat. Sehubungan dengan teori
himpunan biasa, lambang st, yang disebut "standar" ,
adalah bagian dari bahasa formal. Dengan
cara ini pengertian dari himpunan standar adalah hubungan keanggotaan dengan sifat yang sama,
yaitu konsep dasar yang tidak boleh didefinisikan.
Aksioma teori himpunan internal Nelson yaitu:
a. ZFC.
Semua aksioma Zermelo-Fraenkel menetapkan teori dengan
pilihan (termasuk regulerity) diasumsikan
b.
Prinsip Transfer (T)
Untuk setiap ∈ -formula ϕ
yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , y , berlaku:
∀
st x 1 ··· ∀
st x n ( ∀
st y ϕ ↔ ∀y
ϕ )
c. Prinsip Idealisasi (I)
Untuk setiap ∈ -formula ϕ
, berlaku:
∀
stfin x ∃y
∀x ∈
x ϕ ↔ ∃y
∀ st xϕ
d.
Properti Standardisasi
Untuk setiap formula ϕ berlaku:
∀
st x ∃
st y ∀
st z [ z ∈
y ↔ ( z ∈
x ∧ ϕ )]
e.
Terdapat rumus ϕ,
dan anggap ϕ (0) dan ∀ st n ∈ N ϕ ( n )
→ ϕ ( n + 1), kemudian ∀ st n ∈ N ϕ ( n ).
Teori
himpunan tidak standar bertingkat (SNST) Fletcher
Sistem Fletcher menyediakan seluruh hierarki internal dan eksternal
semesta. Meskipun satu sistem formal
diperlukan, namun tidak harus menggambarkan satu semesta pun. Postulat SNST
meningkatkan urutan semesta internal dan eksternal diindeks di atas kardinal,
di mana berbagai tingkat kejenuhan terpenuhi. Idealisasi penuh tidak berlaku,
tetapi jumlah saturasi tertentu disediakan dengan bekerja di tingkat yang
sesuai dari hierarki. Aksioma SNST adalah sebagai berikut:
a.
ZFC untuk semesta standar
b.
ZFC ±
keteraturan yang lemah untuk semesta eksternal
c.
i
α ⊆ E α , i α ⊆ i β dan
E α ⊆
E β untuk
semua α ≤ β
d.
Setiap bagian yang sangat eksternal Eα \ iα adalah
transitif. Seluruh internal semesta i = α
i α bersifat transitif.
e.
Prinsip Transfer
Untuk setiap ∈ -formula ϕ
yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , berlaku:
∀α
∀β [ α ≤ β → ∀ α x 1 ··· ∀ α x n ( ϕ α ( x 1 ..., x n ) ↔ ϕ β (
x 1 , ..., x n ))]
f.
Properti Standardisasi
∀α
∀ ext, α a ∃ S b ∀
S x ( x ∈
a ↔ x ∈
b )
g.
Prinsip Idealisasi
∀α
∀ α r
[ r adalah hubungan biner ∧∃
S f f ( σ α ) = σ r ] →
[( ∀
Sfin a ⊆
dom ( r ) ∃
α b ∀
S a ∈
ar
( a, b )) → ( ∃
α b ∀
S a ∈
dom ( r ) r ( a, b )]
7.
Transformasi
Transformasi
berarti perubahan, salah satu materi dalam matematika adalah transformasi
geometri. Transformasi geometri merupakan perubahan suatu bidang geometri yang
meliputi posisi, besar dan bentuknya sendiri. Jika hasil transformasi kongruen
dengan bangunan yang ditranformasikan, maka disebut transformasi isometri.
Transformasi isometri sendiri memiliki dua jenisya itu transformasi isometri
langsung dan transformasi isometri berhadapan. Transformasi isometri langsung
termasuk translasi dan rotasi, sedangkan transformasi isometri berhadapan
termasuk refleksi.
a.
Refleksi merupakan transformasi geometri
berupa pergeseran atau pemindahan semua titik pada bidang geometri kearah
sebuah garis atau cermin dengan jarak sama dengan dua kali jarak titik
kecermin.
b.
Rotasi
atau perputaran merupakan perubahan kedudukan objek dengan cara diputar
melalui pusat dan sudut tertentu.
c.
Dilatasi
merupakan transformasi geometri berupa perkalian yang memperbesar atau
memperkecil suatu bangunan geometri.
d.
Translasi merupakan pergeseran atau
pemindahan semua titik pada bidang geometri sejauh dan arah yang sama.
Translasi
(Pergeseran) ; T = 
Refleksi
(Pencerminan)
1. Bila
M matriks refleksi berordo 2 × 2, maka:
2. Matriks
M karena refleksi terhadap sumbu X, sumbu Y, garis y = x, dan garis y = – x
dapat dicari dengan proses refleksi titik–titik satuan pada bidang koordinat
sbb:
Msb x
|
Msb y
|
My = x
|
My = – x
|
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
depan tetap belakang negasi
|
belakang tetap depan negasi
|
dibalik
|
dibalik dinegasi
|
3. Refleksi
terhadap garis y = n dan x = k
a. A(x,y)
A’(x’, y’) = A’(x,
– y + 2n)
ordinat
di negasi + 2n
b. A(x,y)
A’(x’, y’) = A’(–x
+ 2k, y)
absis
di negasi + 2k
Rotasi
(Perputaran)
R[O, q]
|
R[O, 90°]
|
R[O, –90°]
|
![]() |
![]() |
|
dibalik depan dinegasi
|
dibalik belakang dinegasi
|
D[O, k] Dilatasi (Perbesaran) dengan Faktor Pengali k
dan pusat di O
Komposisi
Transformasi
P(x, y)
P’(x’, y’); maka 
Luas
Hasil Transformasi
1. Luas
bangun hasil translasi, refleksi, dan rotasi adalah tetap.
2. Luas
bangun hasil transformasi
adalah: L’ = 
Referensi
Abdullah dan Jalaluddin.
(2012). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Ali, H. (1987). Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Alonzo Church, "An
unsolvable problem of elementary number theory",
American Journal of Mathematics, 58 (1936), pp 345–363
Andrew Hodges, Alan Turing. 1983. The Enigma, Simon and Schuster, New York,.
Alan M. Turing's biography. Cf Chapter "The Spirit of Truth" for a
history leading to, and a discussion of, his proof.
Anglin, W. S.
(1994). Mathematics: A Concise History and Philosophy. New York:
Springer-Verlag.
Asy’arie, M.(2016). Filsafat Ilmu Integritas
dan Transendensi. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI).
Beth,
Evert W. (1962). Formal methods.
Dordrecth: D. Reidel Publishing Company
Bochnak,
J., M. Coste, and M.-F. Roy: 1987, Géométrie algébrique réelle,
Springer-Verlag, Berlin.
Darhim. (1983). Media Pendidikan Matematika untuk Guru dan
Calon Guru Matematika. Bandung.
Dris, J., dan Tasari, ,Matematika 2 Untuk SMP dan MTs Kelas VII,
Pusat Kurikulum Perbukuan, Kementrian Pendidikan Nasional, Jakarta.
Eves, H. (1964). An Introduction to the History of Mathematics.
New York: Holt, Rinehart and Winston:
Ernest, P. (1991). The
Phylosophy of Mathematics Education. Francis: Routledge.
Guerrier. (2008). Truth versus validity
in mathematical proof. ZDM Mathematics
Education, 40 (1) p.373-384
Hilbert, David (1928). Grundzüge der theoretischen Logik (Principles
of Mathematical Logic). Springer-Verlag,
Jihad, A. (2017). Kurikulum
dan Pembelajaran Matematika. Bandung: PT Cipta Persada.
Kneller, G. F. (1971). Introduction to The Philosophy of
Education. New York: Jhon Willey Sons Inc.
Malawi, Ibadullah.
(2005). Buku Pegangan Kuliah: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Institut Teknologi Pembangunan: Surabaya.
Marsigit. 2009. Pembudayaan Matematika di Sekolah untuk Mencapai
Keunggulan Bangsa.
Seminar Nasional Pembelajaran Matematika Sekolah. FMIPA Universitas Negeri
Yogyakarta: Yogyakarta.
_______.( ), Sejarah dan Filsafat Matematika. Di
akses pada 8 Januari 2019 dari https://www.academia.edu/15234157/SEJARAH_KURIKULUM_DI_INDONESIA
_______.(
2010). Modul filsafat ilmu.
Universitas Negeri Yogyakarta.
_______. (2012). Sejarah dan filsafat Matematika. Disampaikan pada Workshop Guru SMK
RSBI Yogyakarta.
Martin Davis. (1965).
"The Undecidable, Basic Papers on Undecidable Propositions, Unsolvable
Problems And Computable Functions", Raven Press, New York Turing's paper
is #3 in this volume. Papers include those by Gödel, Church, Rosser, Kleene,
and Post.
Nasso. On the Foundation of
Mathematics Nonstandar
Pincock, Christopher. (2007). Philosophy of Science. Proceedings
of the 2006 Biennial Meeting of the Philosophy of Science AssociationPart I. The
University of Chicago Press on
behalf of the Philosophy of Science Association. DOI:
10.1086/525636. https://www.jstor.org/stable/10.1086/525636
Rjlipton (2010). Mathematical Intuition-What Is It?,
https://rjlipton.wordpress.com/2010/10/01/mathematical-intuition-what-is-it/
(diakses 10 April 2019).
Salam, B. (1997). Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta.
Sisnandar. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pendidikan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Soedjadi, R. (2000). Kiat
Pendidikan Matematika di Indonesia. Dirjen Pendidikan Tinggi.
Syam, M. N. (1988). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Wang, H. (1988). Reflections on Kurt Gödel, A Bradford
Book, MIT Press, Cambridge MA








Interesting. 👍
ReplyDeleteWowwww so greatt!!!
ReplyDeleteMantaap, terus berbagi ilmu ya..
ReplyDeleteMakasih ilmunya
ReplyDeleteMantap sharingnya
ReplyDeleteMakasih sharing ilmunya 👍
ReplyDeleteTerlalu panjaaaang,, :')
ReplyDeleteManjiwww
ReplyDelete