Yogyakarta, November 2019
Aksiologi Pembelajaran Matematika SMP
Oleh: Indra Kusuma Wijayanti
Dalam perkuliahan filsafat Ilmu oleh Bapak Marsigit kali ini saya akan membahas tentang fenomena pembelajaran di SMP
Akhirnya mulai aktif di blog ini lagi setelah sekian lama vakum, postingan kali ini tentang Penjelasan Filosofi Fenomena Pembelajaran di SMP. Beberapa materi pembelajaran matematika di SMP akan kami bahas pada tulisan kali ini.
Terima kasih Bapak Marsigit karena memberikan ruang kepada kami untuk mengekspresikan isi kepala kami.
Dalam memahami matematika, filsafat menjadi salah satu pendekatan yang dipilih. Memikirkan matematika secara filsafat berarti memikirkan matematika secara reflektif (Marsigit, 2015 : 81). Pendekatan filsafat tidak akan berhenti sampai pada pemikiran yang bersifat common sense saja. Suatu konsep yang sudah didapatkan tidak begitu saja diterima, tetapi terlebih dahulu direfleksikan. Pemikiran filsafat akan memberikan jarak antar apa yang kita pikirkan dengan objek yang kita maksud. Proses berpikir yang dilakukan akan memancing rasa ingin tahu manusia. Rasa ingin tahu ini akan terus berkembang, walaupun pada akhirnya pemikiran manusia sendiri memiliki batasan tertentu. Berpikir filsafat juga akan menghadirkan masalah, misalnya sulit bagi kita untuk menyatakan apa yang kita pikirkan benar-benar ada.
Filsafat sendiri memiliki banyak cabang, di antaranya adalah ontologis, epistemologis dan aksiologis. Pendekatan ontologis berusaha mengkaji mengenai hakikat matematika. Salah satu pertanyaan ontologis yang muncul dalam membahas hakekat matematika adalah tentang apa saja objek matematika. Selanjutnya pendekatan epistemologis membahas mengenai cara mendapatkan pengetahuan matematika. Sedangkan pendekatan aksiologis berkaitan dengan kegunaan dari matematika. Selain itu, aksiologi matematika berusaha mengkaji nilai matematika secara filosofis.
Aksiologi membahas mengenai kegunaan dari suatu ilmu pengetahuan. Pembahsan aksiologi juga tidak bisa dipisahkan dari pemahaman mengenai value atau nilai. Nilai menyatakan kualitas yang terkandung pada segala hal di dunia. Nilai tidak dapat berdiri sendiri melainkan menjadi bagian dari seluruh kondisi lingkungan yang ada. Pandangan mengenai nilai akan merujuk pada kemampuan manusia dalam memikirkan kualitas objek di sekitarnya. Robert S. Hartman (1967:39) menyampaikan bahwa nilai (value) didefinisikan sebagai makna dan sebagai kualitas yang dimiliki.Sesuatu yang memiliki kualitas lebih baik akan lebih bernilai dan begitupun sebaliknya. Hartman mencontohkan bahwa kursi yang nyaman akan lebih bernilai dari sebuah kursi yang terbuat dari kayu biasa. Contoh lain adalah kue yang enak akan lebih bernilai dari kue yang biasa saja.
Matematika dan Aksiologi Matematika
Pengertian matematika terus berkembang dari pemahaman para filusuf mengenai matematika, mulai dari Socrates, Plato, Immanuel Kant hingga sampai pada pemahaman para filusuf kontemporer. Marsigit (2015:156) menyatakan bahwa secara pragmatis matematika dipandang sebagai ilmu tentang dunia nyata di mana banyak konsep matematika muncul sebagai usaha sadar manusia dalam memecahkan permasalahan dunia. Beragamnya masalah yang muncul pada berbagai bidang menghadirkan banyak istilah matematika yang bersesuaian dengan bidang itu, misalnya pada bidang kimia, biologi, geografi, fisika dan lain sebagainya.
Pembahasan mengenai aksiologi matematika seringkali berkaitan dengan aksiologi pendidikan matematika. Dalam hal ini, aksiologi pendidikan matematika lebih menekankan pada tujuan pengembangan kualitas manusia sebagai pengguna matematika. Di sisi lain, aksiologi matematika lebih menekankan pada kegunaan ilmu matematika itu sendiri. Dengan demikian, walaupun keduanya saling berkaitan namun tetap memiliki ranah yang berbeda
Pandangan mengenai aksiologi matematika berhubungan dengan aksiologi science yang kemudian disebut sebagai formal axiology. Konsep dari formal axiology secara singkatnya menyatakan apa yang dilakukan matematika pada kondisi tertentu dan pada ilmu pengetahuan. Dalam salah satu tulisannya Robert S. Hartman (1967:39) menyatakan bahwa formal axiology didasarkan pada logika alami dari sebuah makna yaitu intension dan pada struktur intension sebagai himpunan predikat. Karena matematika bersifat objektif dan a priori maka formal axiology juga bersifat objektif dan a priori.
Pembahasan pokok aksiologi matematika adalah nilai dan tipe nilai matematika. Axiometrics International, Inc. (2002:6) menyatakan bahwa menurut Hartman, matematika sebagai salah satu ilmu pengetahuan setidaknya memiliki empat tipe nilai yaitu : (1) Nilai karena keunikannya, (2) Nilai karena fungsinya, (3) Nilai karena maknanya, dan (4) Nilai karena tujuannya.
Pendidikan dan Aksiologi Pendidikan Matematika
Filsafat pendidikan yang merupakan salah satu filsafat terapan menggunakan pola berpikir kefilsafatan yang bertolak dari kajian ontology, epistemology dan aksiologi. Implikasi dalam pendidikan diterapkan dalam telaahan tentang hakikat tujuan pendidikan, hakikat pendidik dan anak didik, hakikat pengetahuan/ilmu pengetahuan yang dirancang dalam kurikulum, dan hakikat nilai atau kegunaan pendidikan dalam kehidupan atau metode mencapai tujuan pendidikan.
Implikasi dari landasan aksiologis terhadap pendidikan, memberi wawasan kepada pendidik/guru dapat secara kreatif mencari makna dan nilai manfaat ilmu, serta metode dan strategi belajar yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran yang mendidik. Berkaitan dengan hal tersebut, ilmu pendidikan memiliki nilai aksioligis bukan hanya pada tataran hasil pendidikan, tetapi tujuan maupun prosesnya telah menggambarkan nilai-nilai yang akan dicapai, nilai-nilai proses yang dilaluinya serta hasil yang diharapkan.
Aksiologi pendidikan matematika adalah kegiatan belajar mengajar matematika di sekolah yang tidak hanya transfer ilmu pengetahuan namun juga mengutamakan ketercapaian sikap spiritual dan sosial yang baik setelah anak belajar matematika di sekolah. Indikator keberhasilannya dapat dilihat dari bagaimana anak bertingkah laku sesuai dengan tujuan pendidikan setelah mereka mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah, khususnya pelajaran matematika. Aksiologi pendidikan matematika dapat dikaitkan dengan tujuan pembelajaran matematika. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menyatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah dari jenjang pendidikan dasar hingga kelas XII memerlukan standar pembelajaran yang berfungsi untuk menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan berpikir, kemampuan penalaran matematis dan memiliki pengetahuan serta ketrampilan dasar yang bermanfaat
Menurut NCTM 2000, disebutkan bahwa terdapat lima kemampuan dasar matematika yang merupakan standar proses yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections) dan representasi (representation). Mengacu pada lima standar kemampuan NCTM, maka dalam tujuan pembelajaran matematika menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) 2006 yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan dalam hal: (1) memahami konsep–konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan menggunakan konsep tersebut dalam menyelesaikan soal atau masalah; (2) menggunakan penalaran, melakukan manipulasi, serta menyusun bukti; (3) memecahkan masalah antara lain mampu memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, serta menafsirkan solusinya; (4) menyajikan gagasan matematis dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Aksiologi Pembelajaran Matematika SMP
Oleh: Indra Kusuma Wijayanti
Dalam perkuliahan filsafat Ilmu oleh Bapak Marsigit kali ini saya akan membahas tentang fenomena pembelajaran di SMP
Akhirnya mulai aktif di blog ini lagi setelah sekian lama vakum, postingan kali ini tentang Penjelasan Filosofi Fenomena Pembelajaran di SMP. Beberapa materi pembelajaran matematika di SMP akan kami bahas pada tulisan kali ini.
Terima kasih Bapak Marsigit karena memberikan ruang kepada kami untuk mengekspresikan isi kepala kami.
Dalam memahami matematika, filsafat menjadi salah satu pendekatan yang dipilih. Memikirkan matematika secara filsafat berarti memikirkan matematika secara reflektif (Marsigit, 2015 : 81). Pendekatan filsafat tidak akan berhenti sampai pada pemikiran yang bersifat common sense saja. Suatu konsep yang sudah didapatkan tidak begitu saja diterima, tetapi terlebih dahulu direfleksikan. Pemikiran filsafat akan memberikan jarak antar apa yang kita pikirkan dengan objek yang kita maksud. Proses berpikir yang dilakukan akan memancing rasa ingin tahu manusia. Rasa ingin tahu ini akan terus berkembang, walaupun pada akhirnya pemikiran manusia sendiri memiliki batasan tertentu. Berpikir filsafat juga akan menghadirkan masalah, misalnya sulit bagi kita untuk menyatakan apa yang kita pikirkan benar-benar ada.
Filsafat sendiri memiliki banyak cabang, di antaranya adalah ontologis, epistemologis dan aksiologis. Pendekatan ontologis berusaha mengkaji mengenai hakikat matematika. Salah satu pertanyaan ontologis yang muncul dalam membahas hakekat matematika adalah tentang apa saja objek matematika. Selanjutnya pendekatan epistemologis membahas mengenai cara mendapatkan pengetahuan matematika. Sedangkan pendekatan aksiologis berkaitan dengan kegunaan dari matematika. Selain itu, aksiologi matematika berusaha mengkaji nilai matematika secara filosofis.
Aksiologi membahas mengenai kegunaan dari suatu ilmu pengetahuan. Pembahsan aksiologi juga tidak bisa dipisahkan dari pemahaman mengenai value atau nilai. Nilai menyatakan kualitas yang terkandung pada segala hal di dunia. Nilai tidak dapat berdiri sendiri melainkan menjadi bagian dari seluruh kondisi lingkungan yang ada. Pandangan mengenai nilai akan merujuk pada kemampuan manusia dalam memikirkan kualitas objek di sekitarnya. Robert S. Hartman (1967:39) menyampaikan bahwa nilai (value) didefinisikan sebagai makna dan sebagai kualitas yang dimiliki.Sesuatu yang memiliki kualitas lebih baik akan lebih bernilai dan begitupun sebaliknya. Hartman mencontohkan bahwa kursi yang nyaman akan lebih bernilai dari sebuah kursi yang terbuat dari kayu biasa. Contoh lain adalah kue yang enak akan lebih bernilai dari kue yang biasa saja.
Matematika dan Aksiologi Matematika
Pengertian matematika terus berkembang dari pemahaman para filusuf mengenai matematika, mulai dari Socrates, Plato, Immanuel Kant hingga sampai pada pemahaman para filusuf kontemporer. Marsigit (2015:156) menyatakan bahwa secara pragmatis matematika dipandang sebagai ilmu tentang dunia nyata di mana banyak konsep matematika muncul sebagai usaha sadar manusia dalam memecahkan permasalahan dunia. Beragamnya masalah yang muncul pada berbagai bidang menghadirkan banyak istilah matematika yang bersesuaian dengan bidang itu, misalnya pada bidang kimia, biologi, geografi, fisika dan lain sebagainya.
Pembahasan mengenai aksiologi matematika seringkali berkaitan dengan aksiologi pendidikan matematika. Dalam hal ini, aksiologi pendidikan matematika lebih menekankan pada tujuan pengembangan kualitas manusia sebagai pengguna matematika. Di sisi lain, aksiologi matematika lebih menekankan pada kegunaan ilmu matematika itu sendiri. Dengan demikian, walaupun keduanya saling berkaitan namun tetap memiliki ranah yang berbeda
Pandangan mengenai aksiologi matematika berhubungan dengan aksiologi science yang kemudian disebut sebagai formal axiology. Konsep dari formal axiology secara singkatnya menyatakan apa yang dilakukan matematika pada kondisi tertentu dan pada ilmu pengetahuan. Dalam salah satu tulisannya Robert S. Hartman (1967:39) menyatakan bahwa formal axiology didasarkan pada logika alami dari sebuah makna yaitu intension dan pada struktur intension sebagai himpunan predikat. Karena matematika bersifat objektif dan a priori maka formal axiology juga bersifat objektif dan a priori.
Pembahasan pokok aksiologi matematika adalah nilai dan tipe nilai matematika. Axiometrics International, Inc. (2002:6) menyatakan bahwa menurut Hartman, matematika sebagai salah satu ilmu pengetahuan setidaknya memiliki empat tipe nilai yaitu : (1) Nilai karena keunikannya, (2) Nilai karena fungsinya, (3) Nilai karena maknanya, dan (4) Nilai karena tujuannya.
Pendidikan dan Aksiologi Pendidikan Matematika
Filsafat pendidikan yang merupakan salah satu filsafat terapan menggunakan pola berpikir kefilsafatan yang bertolak dari kajian ontology, epistemology dan aksiologi. Implikasi dalam pendidikan diterapkan dalam telaahan tentang hakikat tujuan pendidikan, hakikat pendidik dan anak didik, hakikat pengetahuan/ilmu pengetahuan yang dirancang dalam kurikulum, dan hakikat nilai atau kegunaan pendidikan dalam kehidupan atau metode mencapai tujuan pendidikan.
Implikasi dari landasan aksiologis terhadap pendidikan, memberi wawasan kepada pendidik/guru dapat secara kreatif mencari makna dan nilai manfaat ilmu, serta metode dan strategi belajar yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran yang mendidik. Berkaitan dengan hal tersebut, ilmu pendidikan memiliki nilai aksioligis bukan hanya pada tataran hasil pendidikan, tetapi tujuan maupun prosesnya telah menggambarkan nilai-nilai yang akan dicapai, nilai-nilai proses yang dilaluinya serta hasil yang diharapkan.
Aksiologi pendidikan matematika adalah kegiatan belajar mengajar matematika di sekolah yang tidak hanya transfer ilmu pengetahuan namun juga mengutamakan ketercapaian sikap spiritual dan sosial yang baik setelah anak belajar matematika di sekolah. Indikator keberhasilannya dapat dilihat dari bagaimana anak bertingkah laku sesuai dengan tujuan pendidikan setelah mereka mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah, khususnya pelajaran matematika. Aksiologi pendidikan matematika dapat dikaitkan dengan tujuan pembelajaran matematika. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menyatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah dari jenjang pendidikan dasar hingga kelas XII memerlukan standar pembelajaran yang berfungsi untuk menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan berpikir, kemampuan penalaran matematis dan memiliki pengetahuan serta ketrampilan dasar yang bermanfaat
Menurut NCTM 2000, disebutkan bahwa terdapat lima kemampuan dasar matematika yang merupakan standar proses yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections) dan representasi (representation). Mengacu pada lima standar kemampuan NCTM, maka dalam tujuan pembelajaran matematika menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) 2006 yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan dalam hal: (1) memahami konsep–konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan menggunakan konsep tersebut dalam menyelesaikan soal atau masalah; (2) menggunakan penalaran, melakukan manipulasi, serta menyusun bukti; (3) memecahkan masalah antara lain mampu memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, serta menafsirkan solusinya; (4) menyajikan gagasan matematis dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Penjabaran
tujuan pembelajaran matematika yaitu sebagai berikut:
1. Memahami
konsep-konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan menggunakan
konsep tersebut dalam menyelesaikan soal atau masalah.
Indikator
tercapainya tujuan pertama dalam pembelajaran matematika adalah sebagai
berikut:
a. Menyatakan
ulang suatu konsep
b. Mengklasifikasikan
objek menurut sifat tertentu sesuai dengan konsepnya
c. Memberi
contoh dan bukan contoh dari suatu konsep
d. Menyajikan
konsep dalam berbagai representasi matematis
e. Mengembangkan
syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep
f. Menggunakan
dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu
g. Mengaplikasikan
konsep atau algoritma pada pemecahan masalah
2. Menggunakan
penalaran, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti atau menjelaskan gagasan dan penyataan matematika.
Selama
proses pembelajran di kelas, pembuktian
dapat ditunjukkan secara induktif maupun
deduktif. Penggunaan penalaran pada siswa dapat ditunjukkan dengan contoh
seperti di bawah ini.
Berikan
contoh yang lebih banyak, agar siswa dapat menyimpulkan bahwa
Perhatikan
bahwa m dan n mewakili sembarang bilangan asli.
Siswa
dikatakan mampu melakukan penalaran bila ia mampu menggunakan pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun pembuktian
atau menjelaskan gagasan matematika.
Penalaran
menurut Santrock (2009:8) adalah pemikiran logis yang menggunakan cara berpikir
induksi dan deduksi untuk mencapai suatu kesimpulan. Penalaran induktif adalah
proses berpikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta atau kejadian-kejadian
khusus yang sudah diketahui menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Penalaran deduktif merupakan proses berpikir untuk meraik kesimpulan tentang
hal khusus yang berpijak pada hal umum yang telah dibuktikan kebenarannya
sebelumnya.
Contoh
penalaran induktif adalah sebagai berikut, siswa mampu menyimpulkan bahwa jumlah
sudut dalam pada segitiga sebesar
setelah melakukan kegiatan memotong tiga sudut
yang dipotong pada tiap segitiga kemudian dirangkai sedemikian sehingga
membentuk sudut lurus.
Kemudian
gabungkan seperti gambar di bawah ini.
Selanjutnya,
contoh penalaran deduktif adalah siswa mampu melakukan pembuktian jumlah sudut
dalam pada segitiga sebesar
dengan menggunakan prinsip tentang sifat sudut
pada dua garis sejajar yang dipotong oleh sebuah garis ketiga (sehadap,
berseberangan, sepihak) yang sudah dipelajari pada materi sebelumnya seperti
gambar berikut.
Siswa
dikatakan mampu melakukan penalaran bila ia mampu menggunakan pola dan sifat,
melakukan menipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti dan
menjelaskan gagasan atau pernyataan matematika.
3. Memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menfasirkan solusi yang diperoleh.
Salah
satu kemampuan yang diharapkan dikuasai siswa dalam belajar matematika adalah
kemampuan penyelesaian masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model atau menfsirkan solusi yang
diperoleh. Pada tahap memahami masalah indicator yang dapat dilihat adalah
dengan melihat apakah siswa sudah bisa
menuliskan diketahui, ditanya dan dijawab. Kemudian pada tahap merancang
model matematika dan meyelesaikanya jika guru memberikan permasalahan dalam
soal cerita, siswa mampu menyimbolkan atau menulisakan kedalam Bahasa
matematika lalu siswa bisa memilih langkah mana yang harus dilakukan dan mampu
menyelesaikannya. Kemudian, pada tahap menafsirkan solusi yang diperoleh dapat
ditunjukkan melalui apakah siswa mampu menyimpulkan lalu menjawab pertanyaan
dalam permasalahan.
4. Mengomunikasikan
gagasan dengan symbol, table, diagram, atau media lain untuk memperjelas
masalah.
Ide
adalah sesuatu hal abstrak yang ada dalam benak masing-masing individu. Orang
lain tidak akan mengerti ide atau gagasan kita jika kita mengutarakannya, agar
orang lain mengerti maka kita perlu mengomunikasikannya, dalam pembelajaran
matematika salah satu indicator seorang siswa dikatakan dapat mengomunikasikan
gagasan jika siswa dapat melakukan komunikasi secara matematis sebagai berikut.
Misalkan seorang siswa mendapat tugs dari seorang guru sebagai berikut:
a. “Gambarlah
sebarang segitiga lancip, siku-siku, dan tumpul. Ukurlah besar setiap sudut
pada setiap segitiga menggunakan busur derajat, jumlahkan sudut-sudut hasil
pengukuran, berikan kesimpulanmu.” Siswa dikatakan mampu melakukan komunikasi
matematis dengan baik pada tugas itu bila ia mampu memperjelas tugas dan
penyelesaiannya dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang jenis segitiga dan
table.
b. Disajikan
sebuah data berkelompok dalam bentuk histogram, kemudian siswa diminta mencari
rata-rata dari data berkelompok tersebut. Siswa dikatakan mampu melakukan
komunikasi matematis dengan baik pada tugas itu jika siswa mampu mengubahnya ke
dalam table kemudian melakukan perhitungan sesuai algoritma mencari rata-rata.
c. Disajikan
permasalahan program linier sebagai berikut “Suatu perusahaan meubel memerlukan 18 unsur A dan 24 unsur B per hari.
Untuk membuat barang jenis I dibutuhkan 1 unsur A dan 2 unsur B, sedangkan untuk membuat barang jenis II dibutuhkan 3
unsur A dan 2 unsur B. Jika barang jenis I dijual seharga Rp 250.000,00 per
unit dan barang jenis II dijual seharga Rp 400.000,00 perunit, maka agar
penjualannya mencapai maksimum, berapa banyak masing-masing barang harus di
buat?”. Siswa dikatakan mampu melakukan komunikasi matematis dengan baik pada
tugas ini jika ia mampu memanfaatkan pengetahuannya tentang pertidaksamaan
linier, menggambar grafik, menentukan daerah penyelesaian dan melakukan titik uji.
5. Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa
ingintahu, perhatian, atau minat dalam mempelajari matematika.
Sebagai contoh, siswa meyakini bahwa
matematika tidak memiliki kegunaan, usaha yang dapat dilakukan guru adalah
menunjukkan kebermanfaatan matematika atau pentingnya mempelajari. Hal ini
dapat ditunjukkan guru melalui pemberian motivasi pada awal pembelajaran,
misalnya dengan menuliskan keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Contoh motivasi dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut “Suatu
hari, tukang kebon di sekolahmu diminta oleh kepala sekolah untuk mengecat
tembok kelas 7A yang memiliki ukuran
.
Cat tembok dengan merk tertentu, satu kalengnya hanya cukup untuk mengecat
dengan harga Rp.55.000,00 per kaleng. Kemudian
dia bertanya kepadamu, kira-kira berapa banyak uang yang harus ia minta ke
pihak sekolah untuk mengecat tembok tersebut? Sebagai siswa yang pandai kamu
harus bisa membantu Pak Bon, akan malu jika kamu tidak dapat membantu pak bon,
untuk itu hari ini kita akan belajar mengenai luas bangun datar”
Referensi
Axiometrics
International, Inc. (2002). Validity
Studies Of The Hartman Profile Model. Diunduh dari http://www.assessments24x7.com/validity/HVP%20Validity-Research.pdf
Ernest, Paul. (1989). Philosophy,
Mathematics and Education. International Journal of Mahetmatic Education
in Science and Technology. Journal.
Hal 555-559.
Ernest, Paul. (1991). The
Philosophy of Matheamtics Education. London : The Falmer Press.
Hartman, Robert S. (1967). Formal Axiology and The Measurentment of Value. The Joural of Value Inquiry. Hal 38-46.
Marsigit,
Ilham Rizkianto & Nila Mareta Murdiyani. (2015). Filsafat Matematika dan Praksis Pendidikan Matematika. Yogyakarta :
UNY Press.
NCTM.
2000. Principles and Standars for School
Mathematics. Reston: NCTM
Nurroh,
Syampadzi. 2017. Thesis Studi Kasus : Telaah Buku Filsafat Ilmu (Sebuah
Pengantar Populer) oleh Jujus S. Suriasumantri. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada
Marsigit powermathematics.blogspot.com
Bapak Marsigit, Marsigit Indonesia
Bapak Marsigit, Marsigit Indonesia
nice info sist! 😍
ReplyDelete